Kehadiran UU TPKS ini juga semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melapor, apalagi jika sosialisasi UU ini secara masif di semua lini.
"Dari data Nurani Perempuan terlihat bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di rumah tetapi juga terjadi di ruang publik. Sehingga semua orang perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman UU TPKS ini, agar kesadaran masyarakat terus meningkat," ungkapnya.
Rahmi mendorong agar masyarakat maupun korban kasus kekerasan seksual untuk membuka diri atau speak up.
Dia menambahkan, jangan menutupi kasus kekerasan pada perempuan, apalagi kasus kekerasan seksual yang dialami korban di bawah umur.
Sebab anak yang menjadi korban kasus kekerasan seksual, mereka tidak dilindungi, maka akan berdampak pada psikologi dan masa depannya.
"Anak ini juga rentan menjadi korban kekerasan seksual kembali pada tahun berikut. Saat beranjak dewasa mereka juga mudah terjerat prositusi, sebagai cara mencari sesuatu yang membuatnya aman, karena tidak didapat sejak kecil," ujar Rahmi.
Baca juga: Heboh Pelecehan oleh Dosen, Spanduk Bela Korban Kekerasan Seksual Muncul di Universitas Andalas
WCC Nurani Perempuan: Pelaporan Kasus Kekerasan Seksual Masih Sulit, Korban Dibebankan Bukti
Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan menilai pelaporan kasus kekerasan seksual ke kepolisian saat ini masih sulit.
Hal ini terjadi karena korban selalu dibebankan dengan pembuktian terlebih dahulu sebelum dibuatkan laporan oleh polisi.
"Kepolisian biasanya membuat mekanisme dumas atau pengaduan masyarakat dalam hal penerimaan kasus kekerasan seksual. Sebenarnya ini bertentangan dengan aturan yang berlaku pada UU TPKS," ujar Direktur WCC Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti, Jumat (25/11/2022)
Dijelaskan Rahmi, dalam UU TPKS satu keterangan saksi dan atau korban dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang.
Adapun alat bukti yang sah yang dimaksud yaitunya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain seperti informasi dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam perundang-undangan ini.
"Artinya jika adanya laporan mengenai kekerasan seksual dan dilaporkan sendiri oleh korban dengan tidak membawa bukti atau saksi tidak serta merta tidak bisa dilakukan upaya penegakan hukum, karna pembuktian seyogyanya bukanlah dibebankan sepenuhnya kepada korban, pihak yang berwenang dapat melakukan pemanggilan terhadap terlapor dan memperoleh keterangan darinya," ujar Rahmi Meri Yenti.
Rahmi mengatakan, selama tahun 2022 dari Januari sampai November ini sudah 94 korban kekerasan yang melapor, 51 diantaranya kekerasan seksual.
Sementara Tahun 2021, WCC Nurani Perempuan menerima 104 kasus kekerasan perempuan, 54 diantaranya kekerasan seksual.