"Idenya sudah ada sejak tahun 1700an semasa kolonial belanda dulu namun realisasinya dimulai pada Tahun 1805," ujar Al Mijun.
Rumah ibadah itu dibangun pada masa kolonial membuat pembangunan masjid telah berjalan relatif lama.
Lebih lanjut, Pada Tahun 1810 masjid tersebut kemudian rampung serta baru dapat digunakan.
"Seluruh biaya pembangunan itu berasal dari kerja keras ketiga angku tadi, mulai dari tanah tenpat berdiri sampai seluruh bangunan," terang Al Mijun.
Selanjutnya, untuk masalah sumber dana berasal dari saudagar Koto Gadang baik yang berada di dalam maupun luar Sumbar.
Sejauh ini lanjutnya Masjid Raya Ganting menggunakan arsitektur neoklasik, di setiap sisi bangunan memiliki sentuhan dari beberapa negara.
"Untuk atap itu merupakan sentuhan dari daerah Aceh, sedangkan ubin dari India dan tiang, jendela serta kaligrafi berasal dari Arab," tutur Al Mijun.
Baca juga: Masjid Raya Gantiang, Masjid Tertua di Padang yang Pernah Jadi Tempat Mengungsi Soekarno
Baca juga: Masjid Raya Gantiang, Masjid Tertua di Padang, Paduan Arsitektur Minang, Cina, Persia & Timur Tengah
Filosofi Bangunan Masjid
Serta ukiran yang menghiasi masjid mulai dari dinding kayu sampai pintu itu berasal dari China.
Setiap sudut masjid mulai dari tonggak, bentuk atap serta jendela Masjid Raya Gantiang tenyata memiliki filosofinya sendiri.
Dari luar mesjid ini terlihat megah dengan dua menara yang bersatu dengan masjid di sisi depan sebelah kiri dan kanan mesjid.
Masjid berukuran 30×30 m ini memiliki 2 tempat berwudhu di samping kiri dan kanan.
Lalu di bagian depan, dan kedua sisi samping mesjid ada serambi.
Serambi ini bertujuan untuk menampung jamaah jika kapasitas bagian dalam berlebih.
"Mesjid Raya Ganting itu bisa menampung 1.500 sampai 2000 jamaah jika serambi ikut digunakan," tambah Al Mujin.