Citizen Journalism
Opini : Keluarga sebagai Sekolah Pertama: Menakar Ulang Romantisme Pendidikan Pesantren
DI tengah hiruk pikuk dunia yang serba cepat, tak sedikit orang tua hari ini berlomba-lomba mengantarkan an
Jika tangan itu adalah tangan ibu yang penuh kasih, ayah yang bijak, dan rumah yang hangat dengan teladan akhlak—maka hasilnya adalah anak yang tidak hanya cerdas secara spiritual dan intelektual, tapi juga stabil secara emosi dan kuat dalam menghadapi dunia.
Perlu Penyeimbangan: Bukan Menolak Pesantren
Bukan berarti pesantren tidak penting. Ia bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti. Pesantren idealnya menjadi tahapan lanjutan ketika fondasi rumah tangga telah kokoh: anak telah tumbuh dalam pelukan kasih sayang dan pendidikan nilai di rumah, barulah ia dilepas untuk memperluas cakrawala ilmu di luar rumah.
Pendidikan sejati bukanlah soal seberapa jauh anak dari orang tua, tapi seberapa dalam nilai-nilai yang berhasil ditanamkan dalam interaksi harian yang penuh cinta.
Maka, rumah adalah pesantren pertama dan utama. Pesantren bukan solusi universal, melainkan pilihan yang harus dilandasi kesiapan emosional, spiritual, dan kedekatan yang tak bisa digantikan oleh dinding asrama.
Model Alternatif: Pendidikan Terintegrasi Keluarga dan Sekolah
Kita patut menengok model pendidikan alternatif seperti yang banyak diterapkan di beberapa SDIT dan SMP IT bahkan juga SMAIT salah satunya adalah model SMPIT Dar el Iman Padang, tempat dimana penulis pernah menuntut ilmu.
Sekadar berbagi pengalaman, di sekolah ini, kami mendapatkan pendidikan agama yang komprehensif, mulai dari penanaman serta penguatan aqidah tauhid, pembentukan akhlak yang mulia kepada Allah, Rasul, orang tua, guru, teman dan masyarakat, penumbuhan keterampilan menjalankan ibadah dengan benar dan menyadari etika muamalah, pembentukan generasi cinta Al-Qur’an dan meneladani sunnah, melalui tahsin (perbaikan bacaan), tajwid, tahfidz, Tadabbur ayat tematik (iman, ilmu, amal, akhlak, kepemimpinan), Hadist-hadist Arbain dan tematik (adab makan, tidur, bersuci, jujur, dll); penguatan identitas dan inspirasi keIslaman dari tokoh-tokoh besar.
Hal itu semua kami pelajari tanpa tanpa menanggalkan peran utama orang tua sebagai pendidik karakter; pembinaan adab dan karakter Islami (Tarbiyah Khuluqiyyah) seperti adab harian: makan, tidur, berpakaian, ke kamar mandi, berbicara, belajar, menghormati orang tua, guru, teman, orang lain, latihan kontrol emosi seperti: sabar, jujur, rendah hati, bertanggung jawab.
Dalam proses belajar, kami tetap tinggal bersama keluarga. Orang tua kami tetap berperan sebagai penguat, pengawas, dan pengaktual nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua kami menjadi teladan utama (uswah hasanah). Ketika di sekolah kami diajarkan kejujuran, kesabaran, dan adab Islami, di rumah orang tua kami menjadi contoh penerapan nilai-nilai itu.
Orang tua selalu menjaga waktu shalat kami. Mereka mengajak kami shalat berjamaah bersama di Masjid. Orang tua yang membangunkan kami shalat tahajud. Orang tua mendampingi kami makan malam bersama sambil mengajari kami pentingnya bersyukur atas rezeki yang Allah berikan.
Orang tua juga melatih kami bertanggung jawab melalui aktivitas harian di rumah, seperti menyapu rumah, mencuci piring setelah makan, memberi makan ikan. Kami juga belajar dari orang tua bagaimana mengakui kesalahan dan meminta maaf jika kami khilaf.
Ketika mengulang dan mendiskusikan pelajaran agama yang kami dapatkan di sekolah, orang tua selalu mendampingi kami belajar.
Mereka tidak sekedar menanyakan “kamu dapat nilai berapa?”, tapi juga menanyakan “apa yang kamu pelajari hari ini”, “apa hikmah yang kamu dapatkan dari kisah inspiratif para Nabi, sahabat dan ulama-ulama besar”?
Dengan tinggal bersama orang tua kami merasa beruntung dapat kesempatan belajar bersosialisasi dengan masyarakat setiap hari, aktif berkegiatan di organisasi Remaja Masjid. Kami berharap pengalaman ini dapat membentuk jiwa kepemimpinan dan sikap empati sosial kami sejak dini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.