Citizen Journalism
Opini : Keluarga sebagai Sekolah Pertama: Menakar Ulang Romantisme Pendidikan Pesantren
DI tengah hiruk pikuk dunia yang serba cepat, tak sedikit orang tua hari ini berlomba-lomba mengantarkan an
Oleh: Muhammad Alghiffari Aidira, Penulis adalah alumnus SMPIT Dar El Iman Padang
DI tengah hiruk pikuk dunia yang serba cepat, tak sedikit orang tua hari ini berlomba-lomba mengantarkan anak-anak mereka ke pesantren.
Semakin muda usia anak, semakin bangga rasanya bisa menyekolahkan mereka di lembaga yang diyakini sakral, kuat dalam nilai, dan disiplin dalam tata kehidupan.
Baca juga: Pondok Pesantren Ihsan Darussalam Hadir di Kota Padang, Peresmian Dihadiri Wali Kota dan Ketua DPRD
Pesantren kerap dipersepsikan sebagai kawah candradimuka tempat anak-anak diuji, digembleng, dan ditempa menjadi pribadi yang tangguh, religius, dan berprestasi.
Tidak dapat disangkal, pesantren memang telah membuktikan diri sebagai pilar penting dalam pendidikan Islam di Nusantara. Ribuan alumni telah mengukir jejak emas di berbagai bidang kehidupan.
Maka, wajar jika kepercayaan publik terhadap pesantren semakin menguat. Namun, di balik narasi keberhasilan itu, perlu kita tanyakan kembali satu hal mendasar: benarkah pendidikan anak harus sepenuhnya diserahkan kepada lembaga—betapa pun mulianya lembaga itu?
Model Pendidikan Rasulullah: Dimulai dari Rumah
Rasulullah SAW, sebagai pendidik agung umat, tidak pernah menginstruksikan agar pendidikan anak diserahkan seluruhnya kepada lembaga pendidikan, apalagi sejak usia dini. Beliau justru menekankan peran utama orang tua dalam proses pendidikan. Sabda beliau:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang ayah adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendidikan Rasulullah terhadap Hasan dan Husain, cucu-cucunya, tidak dilimpahkan kepada institusi, tapi dilakukan secara personal, lembut, dan penuh hikmah di dalam rumah. Ini menegaskan bahwa pembentukan karakter terbaik, termasuk kejujuran, cinta ilmu, keberanian, hingga adab sosial, berakar dari rumah tangga yang hangat, komunikatif, dan transformatif.
• Ponpes Minangkabau Penuh Syukur Terima Bantuan Sapi Kurban Presiden, Diserahkan Langsung Wagub Vasko
Bahaya “Outsourcing” Pendidikan Emosional
Menitipkan anak di pesantren sejak usia dini tanpa kedekatan emosional yang memadai berpotensi menimbulkan “deprivasi afektif” (kekosongan cinta orang tua) yang secara psikologis bisa berdampak panjang. John Bowlby, dalam Attachment Theory, menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak memiliki ikatan emosional yang aman (secure attachment) dengan orang tuanya, cenderung mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan diri, empati, dan kestabilan emosional di masa dewasa.
Dengan demikian, terlalu dini melepaskan anak dari pelukan keluarga demi kedisiplinan semu bisa menjadi kontraproduktif, apalagi jika tidak dibarengi dengan komunikasi berkualitas secara rutin.
Keluarga: Madrasah Tak Tergantikan
Dalam tradisi keilmuan Islam, keluarga disebut sebagai madrasah ula—sekolah pertama. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa “pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua, karena hati anak bagaikan tanah kosong yang siap ditanamkan nilai apa saja oleh tangan yang paling dekat dengannya.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.