Seni Budaya

'Jalan Sunyi' Pramoedya Lancarkan Kritik, Lewat Karya Sastra

SASTRA bukan sekadar alat hiburan. Di tangan seorang sastrawan besar, ia bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada pedang, lebih menggetarkan dar

Editor: Emil Mahmud
Instagram / @Pramodya_ananta_toer
PRAMOEDYA SASTRAWAN PERLAWANAN - Potret Pramoedya Ananta Toer yang dikenal sebagai sastrawan yang vokal mengkritik rezim orde baru melalui karyanya. Foto ini digunakan dalam pemberitaan mengenai bagaimana sastra menjadi alat perlawanan intelektual yang ia suarakan melalui Tetralogi Buru, karya besar yang ditulisnya bahkan dalam kondisi terpenjara 

2. Namanya dihapus dari sejarah Sastra Indonesia.

3. Ia dikucilkan dan dicegah mendapatkan penghargaan dalam negeri.

Namun, justru larangan itu yang membuat karyanya semakin dicari hingga saat ini.

Di luar negeri, buku-bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat apresiasi luas.

Dunia mengakui kejeniusan Pramoedya, sementara di negerinya sendiri, ia dianggap sebagai ancaman.

Warisan Pramoedya: Sastra yang Tak Pernah Mati

Kini, lebih dari dua dekade setelah tumbangnya Orde Baru, pertanyaannya, apakah kebebasan berpikir sudah benar-benar terjamin di Indonesia?

Jawabannya: belum. 

Masih ada sensor. Masih ada pembungkaman terhadap suara-suara kritis. Masih ada ketakutan terhadap mereka yang berani berbicara tentang kebenaran.

Seperti reaksi penolakab sebagian warga sipil menjelang dusahkannya RUU TNI jadi Undang – Undang, karena mereka khawatir bakal menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti masa orde baru waktu silam.

Pramoedya telah tiada, tetapi gagasannya tetap hidup. Novel-novelnya bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk direnungkan.

Ia meninggalkan warisan bahwa sastra bukan sekadar hiburan, melainkan alat perlawanan. Membaca karya Pram berarti memahami sejarah, mengenali perlawanan, dan menolak lupa.

Selama kata-katanya masih dibaca, selama gagasannya masih diperbincangkan, maka perjuangan Pramoedya Ananta Toer tidak akan pernah mati.

“Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah sejarah sebuah bangsa.” – Pramoedya Ananta Toer.

(Aisa Elvira, Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unand, yang magang di TribunPadang.com)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved