Seni Budaya
'Jalan Sunyi' Pramoedya Lancarkan Kritik, Lewat Karya Sastra
SASTRA bukan sekadar alat hiburan. Di tangan seorang sastrawan besar, ia bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada pedang, lebih menggetarkan dar
SASTRA bukan sekadar alat hiburan. Di tangan seorang sastrawan besar, ia bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada pedang, lebih menggetarkan daripada letusan senapan.
Hal inilah yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer menjadikan kata-kata sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, represi, dan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Dalam bayang-bayang Orde Baru, ketika kebebasan berpikir dan berekspresi dikekang, Pramoedya tetap berkarya.
Pena menjadi senjatanya, dan sastra menjadi medan perangnya. Lewat novel-novelnya, terutama Tetralogi Buru, ia melawan sistem yang menindas dan membungkam.
Namun, mengapa seorang penulis bisa dianggap begitu berbahaya oleh rezim yang berkuasa? Bagaimana karya-karyanya mampu menembus batas sensor dan tetap hidup hingga hari ini?
Pramoedya dan Represi Orde Baru: Ketika Kata-kata Menjadi Ancaman
Tahun 1965 menjadi titik gelap dalam kehidupan Pramoedya. Setelah peristiwa Gerakan 30 September, ia ditangkap tanpa pengadilan dan dijebloskan ke Pulau Buru, sebuah camp kerja paksa yang diperuntukkan bagi mereka yang dianggap sebagai "musuh negara."
Alasannya?
Bukan karena ia memegang senjata, bukan karena ia memimpin pemberontakan, tetapi karena ia menulis.
Pemerintah Orde Baru mencapnya sebagai simpatisan komunis, meski tanpa bukti kuat.
Ia diisolasi, bahkan dilarang memiliki alat tulis. Namun, dalam keterbatasan itu, ia menulis Tetralogi Buru empat novel yang menyajikan kritik tajam terhadap kekuasaan, meski dibungkus dalam kisah berlatar era kolonial.
Tetralogi Buru: Kritik yang Tersamar, tetapi Menggetarkan
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca adalah lebih dari sekadar novel sejarah. Karya-karya ini menggambarkan perjuangan pribumi melawan penjajahan, tetapi pada lapisan yang lebih dalam, mereka juga mencerminkan kondisi Indonesia di bawah Orde Baru.
1. Minke: Simbol Kebebasan yang Terkekang
Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia, adalah seorang pemuda pribumi yang cerdas dan berpendidikan. Ia ingin menulis, ingin bersuara, ingin memperjuangkan keadilan. Namun, setiap langkahnya selalu dihadang oleh sistem yang lebih besar dan lebih kuat.
Tarian Barongan Terus Dihidupkan, Warisan Jawa yang Mewarnai Negeri Johor Malaysia |
![]() |
---|
10 Pepatah Minangkabau Patut Jadi Pedoman Bagi Gen Z |
![]() |
---|
Viral TikTok Konten Tarian & Musik Tradisional, Jadi Reinkarnasi Budaya Lokal |
![]() |
---|
DPW IKM Jakarta Gelar Kajian Adat Minangkabau di Surau, Temanya: Peran Mamak di Rantau |
![]() |
---|
Badia Batuang dan Oto Garobak: Permainan Tradisional Minangkabau, Sudah Ada sebelum Gen Z Lahir |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.