Seni Budaya

'Jalan Sunyi' Pramoedya Lancarkan Kritik, Lewat Karya Sastra

SASTRA bukan sekadar alat hiburan. Di tangan seorang sastrawan besar, ia bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada pedang, lebih menggetarkan dar

Editor: Emil Mahmud
Instagram / @Pramodya_ananta_toer
PRAMOEDYA SASTRAWAN PERLAWANAN - Potret Pramoedya Ananta Toer yang dikenal sebagai sastrawan yang vokal mengkritik rezim orde baru melalui karyanya. Foto ini digunakan dalam pemberitaan mengenai bagaimana sastra menjadi alat perlawanan intelektual yang ia suarakan melalui Tetralogi Buru, karya besar yang ditulisnya bahkan dalam kondisi terpenjara 

SASTRA bukan sekadar alat hiburan. Di tangan seorang sastrawan besar, ia bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada pedang, lebih menggetarkan daripada letusan senapan.

Hal inilah yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer menjadikan kata-kata sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, represi, dan kesewenang-wenangan kekuasaan.

Dalam bayang-bayang Orde Baru, ketika kebebasan berpikir dan berekspresi dikekang, Pramoedya tetap berkarya.

Pena menjadi senjatanya, dan sastra menjadi medan perangnya. Lewat novel-novelnya, terutama Tetralogi Buru, ia melawan sistem yang menindas dan membungkam.

Namun, mengapa seorang penulis bisa dianggap begitu berbahaya oleh rezim yang berkuasa? Bagaimana karya-karyanya mampu menembus batas sensor dan tetap hidup hingga hari ini?

Pramoedya dan Represi Orde Baru: Ketika Kata-kata Menjadi Ancaman

Tahun 1965 menjadi titik gelap dalam kehidupan Pramoedya. Setelah peristiwa Gerakan 30 September, ia ditangkap tanpa pengadilan dan dijebloskan ke Pulau Buru, sebuah camp kerja paksa yang diperuntukkan bagi mereka yang dianggap sebagai "musuh negara."

Alasannya?

Bukan karena ia memegang senjata, bukan karena ia memimpin pemberontakan, tetapi karena ia menulis.

Pemerintah Orde Baru mencapnya sebagai simpatisan komunis, meski tanpa bukti kuat.

Ia diisolasi, bahkan dilarang memiliki alat tulis. Namun, dalam keterbatasan itu, ia menulis Tetralogi Buru empat novel yang menyajikan kritik tajam terhadap kekuasaan, meski dibungkus dalam kisah berlatar era kolonial.

Tetralogi Buru: Kritik yang Tersamar, tetapi Menggetarkan

Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca adalah lebih dari sekadar novel sejarah. Karya-karya ini menggambarkan perjuangan pribumi melawan penjajahan, tetapi pada lapisan yang lebih dalam, mereka juga mencerminkan kondisi Indonesia di bawah Orde Baru.

1. Minke: Simbol Kebebasan yang Terkekang

Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia, adalah seorang pemuda pribumi yang cerdas dan berpendidikan. Ia ingin menulis, ingin bersuara, ingin memperjuangkan keadilan. Namun, setiap langkahnya selalu dihadang oleh sistem yang lebih besar dan lebih kuat.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved