Berita Nasional

Rapat RUU TNI di Hotel Mewah jadi Sorotan, Kompleks Gedung DPR Kurang Luas?

Rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang digelar di sebuah hotel mewah baru-baru ini menarik perhatian publik. 

Editor: Rizka Desri Yusfita
TribunJabar
GEDUNG DPR RI: Kompleks Gedung DPR/MPR memiliki luas sekitar 80.000 meter persegi. Banyak yang bertanya luas gedung DPR RI sebab rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI digelar di sebuah hotel mewah baru-baru ini 

Formappi: Cari tempat nyaman untuk 'berkompromi'

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritisi pemilihan lokasi rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (UU) TNI yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). 

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai langkah ini lebih dari sekadar mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat bagi anggota DPR, tetapi mencerminkan upaya kompromi dalam pembahasan isu-isu krusial terkait revisi UU TNI.

"Komisi I DPR dan wakil pemerintah memilih rapat di hotel bukan karena sekadar ingin cari tempat yang nyaman untuk beristirahat, tetapi mereka justru cari tempat nyaman untuk berkompromi," kata Lucius kepada Tribunnews.com, Minggu (16/3/2025).

Lucius berpendapat, beban untuk mencapai kompromi menjadi alasan Komisi I DPR dan pemerintah menggelar rapat secara sembunyi-sembunyi.

Sebab, kata dia, kompromi akan sulit apabila rapat digelar di Gedung DPR mudah diawasi masyarakat melalui jurnalis hingga masyarakat sipil.

"Jadi kompromi memang pasti akan afdol di tempat tersembunyi karena melalui kompromi bisa jadi ada banyak hal yang ditransaksikan," ujar Lucius.

Dalam rapat tersebut, Komisi I DPR RI bersama perwakilan pemerintah membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU TNI. 

Salah satu poin utama yang menjadi perhatian adalah perluasan peran TNI di ranah sipil, termasuk peluang bagi personel aktif untuk menduduki jabatan di institusi non-militer serta revisi batas usia pensiun.

Lucius menilai, usulan tersebut justru mengarah pada kembalinya model dwi fungsi ABRI seperti di era Orde Baru.

"Pengaturan yang condong menguntungkan TNI itu bukan terkait penguatan profesionalitas tetapi justru terkesan ingin mengembalikan kejayaan TNI masa Orba melalui dwi fungsi ABRI saat itu," tegasnya.

Dia menegaskan, keinginan memperluas kewenangan berlawanan dengan harapan masyarakat sipil agar TNI harus profesional sebagai alat pertahanan negara saja.

"Dengan lawan yang nampak cukup solid di publik, DPR dan Pemerintah nampaknya harus bersifat. Siasat itu demi bisa meloloskan UU TNI sesuai yang sejak awal diinginkan penyusun draf revisi UU TNI," ucap Lucius.

Lebih lanjut, Lucius mengkritik pola pembahasan yang berlangsung cepat dan tertutup, mengingat tren serupa terjadi dalam sejumlah legislasi lain yang kontroversial. 

Dia menyebut revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU Minerba sebagai contoh produk legislasi yang disusun dalam tempo singkat dan minim partisipasi publik.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved