Merawat Kemabruran Puasa

Antara Istigfar dan Taubat

Istigfar adalah ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istgfar

Editor: afrizal
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Menteri Agama RI Nasaruddin Umar 

Penulis: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA

Lain istigfar lain taubat. 

Istigfar adalah ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istigfar, misalnya astagfirullahal ’adhim. 

Sedangkan taubat lebih dari sekedar itu. 

Taubat menuntut persyaratan lebih banyak. 

Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Al-Razi (W. 660 H), taubat disyaratkan dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat, mengucapkan kalimat istigfar, seraya menyesali perbuatan dosa dan maksiat itu, bertekad dalam hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. 

Sebagian ulama menambahkan syarat meminta maaf kepada mereka yang telah dianiaya dan mengembalikan hak-hak mereka, mengganti perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal kabajikan, menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah SWT, dan mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan mensucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, irihati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya. 

Dengan demikian, taubat lebih berat daripada istigfar.

Taubat dalam kitab Ihya ’Ulumuddin karya monumental Al-Gazali (W. 505 H), mengisyaratkan ada tiga tingkatan. 

Pertama, taubatnya orang awam, yaitu taubat dari dosa dan maksiat. 

Kedua, taubatnya orang khawas, yaitu taubat tidak karena melakukan dosa atau maksiat melainkan taubat karena alfa melakukan ketaatan yang bersifat sunnat, misalnya meninggalkan shalat dhuha, shalat tahajjud, puasa Senin-Kamis, dll. 

Ketiga, taubatnya orang khawashul khawash, yaitu taubat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan ketaatan sunnat, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai khusyu dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan. 

Bagi golongan ini, alfa sedikitpun tidak mengingat Allah Swt dirasakan seperti melakukan dosa, sehingga ia berusaha untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu dengan taubat dan istigfar. 

Rasulullah SAW, pernah ditannya oleh isterinya, ’Aisyah RA, mengapa engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah engkau seorang Nabi yang dijamin masuk syurga oleh Allah SWT? 

Rasulullah menjawab singkat, ”Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur”. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved