Citizen Journalism

Kepahlawanan yang Sendat dan Tergopoh-gopoh, Catatan Pertunjukan Teater “Sayap-Sayap Proklamasi”

Tidak mudah menyusun peristiwa menjadi satu rangkaian kisah di atas panggung, yang betapapun bersifat fragmentaris,

Penulis: rilis biz | Editor: Emil Mahmud
Istimewa
Ilustrasi: Pertunjukan Kepahlawanan yang Sendat dan Tergopoh-gopoh, Catatan Pertunjukan Teater “Sayap-Sayap Proklamasi” 

Dari sinilah, terlihat tampilan Sayap-Sayap Proklamasi di malam itu, masih sangat kedodoran dalam menciptakan kesatuan pentas.

Bahkan, pengemasan pertunjukan yang dikreasi, seolah hanya menjadi rajutan yang disambung melalui pengulangan ruang gelap (black out) dengan audio rabab pasisie, yang mendendangkan penceritaan (berbahasa Indonesia) dengan format naratif dan informatif (bukan persuasif dan ekspositori) yang terkesan sangat ‘dipaksakan’.

 Begitu cepatnya pergantian pangadengan dalam penuturan cerita yang ditransisikan secara repetitif itu, seolah menutup alternatif pembagian panggung dalam satu space lebih, dan seolah menghapus celah (sama sekali) untuk diwujudkannya kreasi alur montage sebagai opsi penting dalam memantik dinamika pertunjukkan.

Belum lagi rajutan ilustrasi musik dan tarian yang melanglang buana menuju tanah Hungaria lewat Hungarian Dance, yang dicipta tahun 1879 oleh Johannes Brahms, sampai ke gamelan Gambang Kromong, dengan tarian-tarian Betawi yang dikreasi ‘seadanya’.

Sampai di sini, Penulis pun jadi bertanya: apakah penanda-penanda musikal dan gerak itu relevan bagi terwujudnya zeitgeist yang harus dicerminkan dalam pertunjukan?

Pertunjukan Sayap-Sayap Proklamasi, dimulai dengan adegan musyawarah keluarga Muhammad Hatta yang membahas tindak lanjut pendidikannya, selepas Muhammad Hatta (diperankan oleh Muhammad Irsyad) menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Swasta milik seorang opsir Belanda bernama Ledeboer dan merampungkan pendidikannya di Hogere Burger SchooL (HBS) pada pertengahan tahun 2016.

Sayang, silang pendapat antara Siti Zulaeka (diperankan Yuliza Zen) dan Pak Gaek (Ilyas Bagindo Marah) yang diperankan Jufriadi Datuk Sati, yang menyoal plus minus Pendidikan di Minang dan Pendidikan di Rantau (Batavia) tersebut, ternyata hanya dialog ringan saja.

Alhasil, langsung menuju tiktik persoalan (secara verbal) sehingga tak mampu menegaskan dialektika yang tajam menyoal corak pendidikan yang berlangsung pada masa itu, yang pada akhirnya  juga tak mampu menggambarkan sosok Siti Zulaeka sebagai representasi perempuan Minang di masanya.

Maka, jadilah sosok Siti Zulaeka sebagai tokoh yang muncul dalam ‘sekelebat’, bahkan Ibu Muhammad Hatta tersebut sepertinya sengaja dihadirkan tanpa kontribusi yang ‘menggetarkan’ dalam kedudukannya sebagai wanita yang sudah pasti turut mendedahkan paradigma Muhammad Hatta.

Alur berikutnya menggambarkan pertemuan antara Muhammad Hatta dengan Pamannya, Ayub Rais (diperankan oleh Hendri JB). Tak jelas apa yang menjadi spine dalam peristiwa ini.

Sebagai adegan yang mencoba memberi ruang bagi kontribusi Ayub Rais dalam mengkontruksi pemikiran Muhammad Hatta, aksentuasi adegan ini juga tidak menunjukkan sasaran itu. 

Tampaknya, setiap adegan yang dirajut hanyalah kronologi biografi singkat Muhammmad Hatta, yang disusun dengan tanpa titik penekanan (emphasis), dan tanpa dimuati upaya untuk membangkitkan ingatan pada pemikiran Muhammad Hatta.

Terlebih untuk merakit bunga rampai idealisme, visi perjuangan, gelegak nasionalisme dan sekaligus curahan privat Muhammad Hatta yang sudah pasti penuh ‘keterdesakan’ dan ‘keterbatasan’ dalam posisinya sebagai manusia biasa. 

Rangkaian adegan-adegan berikutnya pun dihadirkan. Diawali peristiwa di di ruang kelas MULO Batavia yang olok-olok sesama muridnya terasa sangat ‘hitam-putih’, kemudian adegan ruang bagi penyampaian pidato pledoi ‘Indonesia Merdeka’.

Kemudian, adegan ditangkapnya Muhammad Hatta atas tuduhan melakukan ‘gerakan revolusioner’ dalam Perhimpunan Indonesia, yang dianggap membahayakan pemerintahan Kolonial Belanda, Perdebatan ‘Partindo’ dan PNI Baru’ yang direpresentasikan pada tokoh Sukarno (diperankan oleh Rahmad Pangestu) dan Muhammad Hatta, yang bahkan justru mendegradasi posisi Muhammad Hatta sebagai tokoh sentral oleh tokoh Sukarno, yang pada naskah diberi porsi yang cukup besar, juga adegan ditangkapnya Muhammad Hatta oleh polisi kolonial, sebelum akhirnya dipenjarakan di Glodok, Jakarta. Semuanya mengalir lancar meskipun tanpa sentilan yang terasa sangat mengiris.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved