Artikel
Potensi Perhutanan Sosial di Sumbar yang Menjanjikan
Hingga 2023, total luas perhutanan sosial di Sumbar baru mencapai 287.553,78 hektare dengan 205 unit usaha. Jumlah itu masih bisa terus berkembang.
Penulis: rilis biz | Editor: Emil Mahmud
SELEPAS Bulan Juni, selalu saja ada yang terasa kurang di kampung halaman di Sumatera Barat. Ada yang terasa hilang. Ada ruang-ruang yang terasa kosong di rongga dada.
Pada masa-masa itu, anak-anak muda yang telah menamatkan pendidikan di bangku SLTA, biasanya mulai meninggalkan kampung halaman. Meningggalkan sanak saudara. Meninggalkan kawan sepermainan. Meninggalkan kenangan yang telah terukir di berbagai sudut kota.
Sebagian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, menjemput cita-cita. Menjadi anak kuliahan, membangun mimpi masa depan. Bagi yang kuliah di kota tetangga, awalnya sepekan sekali pulang kampung, tapi kemudian akan semakin jarang, mungkin hanya sekali sebulan. Bagi yang kuliah di luar pulau, kesempatan pulang hanya sekali setahun, saat Lebaran.
Sebagian lagi, yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan, pergi dari kampung untuk mencari peruntungan, merantau ke negeri-negeri yang selama ini hanya dikenal lewat cerita, atau "streaming" media sosial.
Maka wajah-wajah yang familiar di kampung, banyak yang tidak lagi terlihat. Yang tersisa adalah orang tua, anak-anak yang beranjak dewasa dan mereka yang mendapatkan pekerjaan di kampung halaman.
Bagi orang Sumatera Barat, DKI Jakarta dan Batam (Kepulauan Riau) menjadi dua kota yang paling banyak dituju. Mungkin dirasa paling "aman" karena "orang awak" sudah banyak yang bermukim di kedua wilayah itu.
Konon, jumlah warga etnis Minangkabau di Jakarta mencapai 2,4 juta orang, sementara di Batam sekitar 27 persen dari total penduduknya sekitar 1,2 juta orang adalah "orang awak".
Setidaknya jika nasib malang, tidak mampu menaklukkan kerasnya kota, masih ada sanak atau orang sekampung yang bisa dimintai tolong untuk sementara, menjelang ditemukannya inspirasi baru atau menjelang mendapat penghasilan baru.
Di Jakarta dan beberapa kota di Pulau Jawa, sebagian mereka, yang biasanya menamatkan kuliah di sana, mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerja kantoran, bahkan ada juga yang kerja di pemerintahan. Sebagian dari mereka, bahkan terus mendaki ke puncak kesuksesan.
Meskipun demikian, yang mencari peruntungan dengan meninggalkan kampung halaman itu, ada juga yang bekerja sebagai buruh, dan pada umunya menjadi pedagang. Awalnya mereka mencari induk semang untuk belajar, lalu buka lapak sendiri. Bila retak tangan bagus, mereka berhasil menjadi "orang".
Di Batam, sebagian besar "orang awak" menjadi pekerja di perusahaan. Buruh dengan kontrak tahunan. Hidup sederhana dari tahun ke tahun sambil memupuk tabungan.
Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta memang cukup tinggi jika dibandingkan UMR di Sumbar. Pada 2024, UMR Jakarta sekitar Rp5 juta lebih sedikit. Batam juga punya UMK Rp4,6 juta di atas UMR Sumbar yang baru Rp2,81 juta.
Jakarta dan Batam memiliki banyak perusahaan yang bisa membayar gaji sesuai UMR, berbeda dengan Sumbar yang perusahaan besarnya tidak banyak.
UMR menjadi salah satu daya tarik utama. Setidaknya dengan pendapatan sesuai UMR Jakarta atau Batam itu, mereka bisa menabung. Mengumpulkan pundi-pundi untuk dibawa pulang, kemudian membuka usaha sendiri.
Meskipun demikian, kehidupan tidak bisa dihitung melulu secara matematis. Tabungan yang berhasil disimpan sedikit demi sedikit, kadang memang bisa dibawa pulang kampung, tapi kadang ludes juga untuk biaya hidup saat kontrak berakhir dan pekerjaan baru belum didapat.
Pengaruh Positif Ekonomi Kreatif Terhadap, Rencana Kenaikan PPN 12 Persen |
![]() |
---|
Sinergi Fiskal untuk Optimalisasi Pembangunan Nasional |
![]() |
---|
Artikel: Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Perekonomian Berkelanjutan |
![]() |
---|
Artikel: Merintis Harapan dalam Sekeping Hutan Sambungo |
![]() |
---|
Artikel: Dampak Positif PTSL terhadap Pembangunan dan Perekonomian Nasional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.