Opini Citizen Reporter

Nepotisme Perbuatan Pidana atau Perdata?

Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, bingung terhadap istilah nepotisme

Editor: Emil Mahmud
zoom-inlihat foto Nepotisme Perbuatan Pidana atau Perdata?
ISTIMEWA
Fernando Wirawan, S.H., M.H, Praktisi Hukum di Green Law Office

Masih menurut Sri Margana, orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia pada abad ke-17 melanggengkan praktik itu. Kerja sama yang dijalin kongsi Dagang Hindia Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) dengan raja-raja Jawa membuat kompeni ikut melakukan tradisi koruptif itu. Bagi mereka, sistem tersebut memberikan banyak keuntungan.

 

Atas hal tersebut, Daendels melakukan reformasi, salah satunya, melarang atau menghapus cara-cara lama dalam menyatakan kesetiaan kepada penguasa dalam bentuk upeti, hadiah, atau uang bakti di seluruh Jawa.

 

Siapa pun yang melanggar larangan itu akan dipecat secara tidak hormat dan dihukum. Berkaca pada sejarah, tampak bahwa nepotisme sudah merugikan kepentingan umum, kemudian diakomodir oleh negara menjadi perbuatan yang dilarang dan dikenakan sanksi bagi pelanggarnya.

 

Kembali ke pembahasan dalam konteks hukum, anatomi nepotisme sesungguhnya sudah melekat pada unsur perbuatan pidana. Pertama, nepotisme telah memenuhi sifat perbuatan melawan hukum (pidana), di antaranya ada unsur kepentingan umum yang dilanggar (di samping juga kepentingan individu).

 

Hal tersebut didasarkan pada pendapat ahli hukum P.A.F Lamintang dalam Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (1999). Ia mengatakan bahwa ada yang mengartikan terminologi wederrechtelijk (perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana) sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met hetrecht) atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hal itu nepotisme selain bertentangan dengan hukum (in strijd met hetrecht), yakni Pasal 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 juga melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht).

 

Mengenai frasa sanksi pidana dan atau sanksi perdata yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, frasa jelas keliru dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

 

Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2 (2007) disebutkan bahwa dan/atau dapat diperlakukan sebagai dan serta atau. Misalnya, A dan/atau B berarti ‘A dan B atau A atau B’. Istilah dan atau dalam pasal 20 ayat (2) tersebut tidak bisa dipakai karena bukan pilihan hukum (pidana atau perdata) dan bukan tergolong dalam dua jenis hukum sekaligus (pidana dan perdata).

 

Ketiga, dalam konteks hukum perdata, perbuatan melawan hukum dikenal dengan istilah onrechtmatige daad. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved