Citizen Journalism

Sementara Menunggu Godot: Ujian Resital Pemeranan Jurusan Teater ISI Padang Panjang

Pertunjukan “Menunggu Godot” tidak bisa dipisahkan dari gagasan naskah drama yang ditulis oleh Samuel Beckett, pada tahun 1948, dipentaskan pertama

Editor: Emil Mahmud
ISTIMEWA
Sementara Menunggu Godot” Karya; Samuel Beckett, terjemahan B. Very Handayani, Sutradara; Pandu Birowo, ditampilkan pada Jumat (14/6/2024) pukul 20.00 WIB di Teater Arena Mursal Esten ISI Padang Panjang, Provinsi Sumbar. 

Penonton tertawa, karena dari pembicaraan Estragon dan Vladimir yang diperankan (M. Fauzan dan Faridho Yuda) terkadang tampak terasa logis dan tidak terasa dibuat-buat untuk melawak.

Meskipun gerak permainan peran kedua pemeran ini dibuat sangat lamban oleh tafsir sutradara, dan sutradara konsisten mengarahkan permainan peran Estragon beserta Vladimir pada akting yang bersifat alami.

Dalam perwujudan pertunjukan drama yang terkait dengan aktor dan sutradara dapat kita lihat  bagaimana dua teori konvensional memberikan peranan berbeda terhadap sutradara dan aktor. Misalnya teori Laissez Faire dan Gordon Craig. Laissez Faire menekankan pada aktor-aktor lah yang sesungguhnya bisa mengkreasi dan memberi bobot pada pertunjukan drama, bukan sutradara.

 

Seorang sutradara dalam teori  Laissez Faire ditempatkan hanya sebagai interpretator. Hal ini tentunya berbeda dengan Gordon Craig yang lebih menekan otoritas sepenuhnya pada sutradara, dan aktor-aktor diibaratkan sebagai boneka, sutradara ditempatkan pada kedudukan yang lebih dominan.

Pendekatan teori Laissez Faire ini, ternyata pada pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot” sebagai materi ujian resital pemeranan tidak dimanfaatkan oleh pemeran yang sebenarnya sedang menempuh ujian pemeranan tingkat sarjana. M. Fauzan dan Faridho Yuda, ketika berperan menampilkan sosok tokoh Estragon dan Vladimir, tampak monoton dengan tempo permaianan yang lamban dari awal adegan hingga akhir adegan pertunjukan drama ini.

 

Dalam posisi ini sebenarnya aktor dan sutradara mampu melakukan kompromi artistik, aktor atau pemeran bisa melakukan tafsir pendekatan kerja transformasi dari teks verbal menuju panggung.

Saya terkesan dengan “transformasi” menurut Strauss (1959) yang mengisyaratkan penilaian baru tentang diri pribadi dan orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan dan objek-objek. Strauss menggaris bawahi bahwa bentuk transformasi ini menjadi turning point atas apa yang telah menjadi proses berteater selama kerja latihan hingga menjadi kenyataan panggung. Turning point dalam arti yang sesungguhnya, ia berjalan sesuai yang dialami menuju kenyataan kini. Para pemeran dan sutradara pada naskah drama “Sementara Menunggu Godot”, seharusnya telah mengejawantahkan bagaimana turning point itu dialami oleh aktor-aktor dalam memerankan tokoh sebagai sebuah bentuk transformasi identitas menjadi karya pemeranan.

 

Pemilihan fase-fase kekaryaan dalam mengkaji proses transformasi identitas sebagai suatu dialektika antara realitas pemeran dengan perwujudan capaian ideal karakter peran di atas panggung. Pertanyaannya kenapa hal ini tidak tampak terjadi transformasi teks verbal menuju kenyataan panggung ?

Jawabannya dari pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot”, sebagai teks karya, ia dihasilkan dari konstruksi atas apa yang mereka tafsirkan. Dalam hal ini, kesetiaaan sutradara Pandu Birowo terhadap teks drama menjadi acuan utama sebagaimana dalam naskah drama “Sementara Menunggu Godot”. Hal inilah yang terasa melelahkan.

 

Namun pertunjukan masih bisa menemukan tempo yang meningkat, ketika dua tokoh lainnya masuk, yakni; Pozzo dan Lucky yang diperankan oleh Rafi dan Alfian. Pozzo hadir seolah sebagai tuan, dan Lucky hadir seperti budaknya. Pozzo dan budaknya, Lucky tampak diperlakukan sebagai kuda pengangkut beban, sedangkan Pozzo, memegang sebuah cambuk sebagai lambang otoritas.

 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved