Mahyeldi Menggugat
Gubernur Sumbar dan 10 Kepala Daerah Ajukan Uji Materi ke MK Soal Masa Jabatan, Ini Kata Mahyeldi
Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mahyeldi termasuk 11 kepala daerah se-Indonesia yang mengajukan permohonan gugatan uji materi (judicial review) ke ..
Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Fuadi Zikri
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mahyeldi termasuk 11 kepala daerah se-Indonesia yang mengajukan permohonan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-undang Nomor 10 tahun 2016.
Permohonan uji materi itu dimaksudkan agar masa jabatan kepala daerah, termasuk Gubernur Sumbar tidak terpangkas, lantaran Pilkada serentak akan digelar November 2024 mendatang.
Diketahui, Mahyeldi terpilih menjadi Gubernur Sumbar melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2020 lalu.
"Karena sebetulnya dalam Undang-undang jelas, bahwasanya masa jabatan 5 tahun. Presiden 5 tahun, gubernur 5 tahun dan wali kota/ bupati 5 tahun, dan sementara sekarang ini ada UU yang mengatur itu," ujar Mahyeldi yang ditemui di Auditorium Istana Gubernur Sumbar pada Rabu (7/2/2024) siang.
Mahyeldi mengatakan bahwa berkenaan dengan itu ia mempunyai hak untuk mengajukan permohonan uji materi ke MK.
"Maksudnya, kita di pemerintah Provinsi yang ada, gubernur yang ada bersinergi dan berkomunikasi, karena itu juga hak kita untuk menyampaikan kepada MK, dan itu sudah menjadi kesepakatan kami bersama dan itu dari informasi yang ada sudah di proses, bahkan pada hari ini sudah dimulai langkah-langkah untuk itu," kata Mahyeldi.
Ia berharap ketentuan yang ada harus mempedomani aturan yang lebih tinggi didalam mengambil kebijakan dan keputusan
Baca juga: Masa Jabatan Terpangkas Gubernur Sumbar-Wako Bukittinggi Ajukan Gugatan ke MK, Ada 11 Kepala Daerah
"Dan itu terbukti dari bupati, walikota dan gubenur yang SK nya sudah berakhir di tahun 2023, dan itu diakomodir sampai habis jabatan 5 tahun yang mana sudah dikabulkan MK, maksudnya, kita berharap hal yang sama juga, yakni bisa dikabulkan," pungkasnya.
Dilansir dari Tribunnews.com, sebanyak 11 kepala daerah mengajukan permohonan judicial review atau uji materiil Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Belasan kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di MK tersebut, di antaranya Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi.
Mereka memberikan kuasa kepada Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Rasamala Aritonang dalam permohonannya.
Adapun pasal tersebut berbunyi, "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024".
Sebanyak 11 Kepala Daerah tersebut menyoalkan desain keserentakan Pilkada 2024 yang dinilai bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
"Sebab (desain keserentakan Pilkada 2024) telah merugikan sejumlah 270 Kepala Daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan Para Kepala Daerah secara signifikan," kata anggota tim kuasa hukum para Pemohon, Febri Diansyah, dalam keterangan persnya, pada Jumat (26/1/2024).
Febri mengeklaim, secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia, yakni sekira 49,5 persen dari 546 kepala daerah yang ada.
Ia juga mengatakan, sekalipun pasal yang diuji oleh para kepala daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke MK, Para Pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.
Menurutnya, pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional tahun 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas.
Dalam permohonannya, Febri mengatakan, pihaknya menyampaikan tujuh argumentasi hukum pokok, yaitu:
1) Tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada Serentak Nasional tahun 2024.
2) Penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis.
3) Tujuan keserentakan Pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana.
Baca juga: Jabatan Wako Padang Diperpanjang Usai Gugatan di MK, Pemprov Sumbar Masih Tunggu Keputusan Mendagri
4) Penentuan jadwal Pilkada Serentak Nasional 2024 merugikan sebanyak 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020.
5) Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi.
6) Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar.
7) Adanya potensi penumpukan perkara hasil sengketa pemilihan umum di MK.
Para Pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang, yakni gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025.
"Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut," ungkapnya.
_____
Baca berita terbaru di Saluran TribunPadang.com dan Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.