Mahyeldi Menggugat

Masa Jabatan Terpangkas Gubernur Sumbar-Wako Bukittinggi Ajukan Gugatan ke MK, Ada 11 Kepala Daerah

Dua kepala daerah asal Sumbar ini mengajukan permohonan judicial review bersama belasan kepala daerah lainnya di Indonesia.

|
Editor: afrizal
Tribunnews.com
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. 

TRIBUNPADANG.COM - Gubernur Sumatera Barat dan Wali Kota Bukittinggi mengajukan permohonan judicial review atau uji materiil Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dua kepala daerah asal Sumbar ini mengajukan permohonan judicial review bersama belasan kepala daerah lainnya di Indonesia.

Total ada 11 kepala daerah setingkat gubernur maupun Bupati/Wali Kota. 

Baca juga: Wako Padang Hendri Septa Bersyukur Gugatan Masa Jabatan Dikabulkan MK, Sebut akan Tuntaskan Progul

 

Belasan kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di MK tersebut, di antaranya Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi. 

Mereka memberikan kuasa kepada Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Rasamala Aritonang dalam permohonannya.

Adapun pasal tersebut berbunyi, "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024".

Sebanyak 11 Kepala Daerah tersebut menyoalkan desain keserentakan Pilkada 2024 yang dinilai bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.

"Sebab (desain keserentakan Pilkada 2024) telah merugikan sejumlah 270 Kepala Daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan Para Kepala Daerah secara signifikan," kata anggota tim kuasa hukum para Pemohon, Febri Diansyah, dalam keterangan persnya, pada Jumat (26/1/2024).

Febri mengeklaim, secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia, yakni sekira 49,5 persen dari 546 kepala daerah yang ada.

Ia juga mengatakan, sekalipun pasal yang diuji oleh para kepala daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke MK, Para Pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.

Menurutnya, pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional tahun 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas.

Dalam permohonannya, Febri mengatakan, pihaknya menyampaikan tujuh argumentasi hukum pokok, yaitu:

1) Tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada Serentak Nasional tahun 2024.

2) Penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved