Pemilu 2024

Pengawas Pemilu di Daerah Diminta Rancang Strategi Awasi Kampanye di Media Sosial

Bawaslu RI meminta kepada para pengawas pemilu di daerah merancang strategi yang tepat dalam mengawasi kampanye di media sosial jelang Pemilu 2024.

Editor: Rahmadi
Tribunnews.com
Bawaslu RI meminta kepada para pengawas pemilu di daerah merancang strategi yang tepat dalam mengawasi kampanye di media sosial jelang Pemilu 2024. 

Titi mengatakan, risiko pertama yakni terkait penyebaran hoaks, berita palsu, dan disinformasi materi yang sengaja dibuat-buat dan disamarkan sebagai kebenaran.

"(Hoaks) bertujuan untuk menurunkan kredilibitas dan integritas," kata Titi, dalam rapat kordinasi bertajuk 'Menjaga Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan pada Tahapan Pemilu 2024', di Hotel Orchardz, Jakarta Pusat, pada Selasa (21/11/2023).

Kedua, kata Titi, potensi penyebaran mis-informasi atau informasi yang keliru yang tidak dimaksudkan untuk menyesatkan.

"Perilaku non-autentik yang terkoordinasi (CIB) yang mengunakan akun palsu atau anonim yang terkoordinasi untuk menyesatkan pengguna platform. Seringkali melalui konten atau clickbait atau kumpulan buzzers," jelasnya.

Baca juga: Bawaslu Agam Ajak Pemilih Pemula di MTI Canduang Ikut Pengawasan Pemilu Partisipatif

Selanjutnya, potensi terjadinya kampanye jahat atau black campaign terkoordinasi yang bertujuan untuk merusak reputasi lawan atau opsisi. Diikuti, potensi penggunaan bot atau sistem yang mensimulasikan manusia untuk mengarahkan topik yang sedang trend.

Baca juga: Perludem Soroti Ribuan Aparat Desa Dukung Gibran, Sebut Benih Pelanggaran Kampanye

Lebih lanjut, Titi mengatakan, potensi lainnya, yakni adanya influencers maupun buzzers uang yang mendorong topik atau isu tertentu agar menjadi populer.

Kemudian, potensi adanya aliran dana kampanye tak transparan, promosi yang mendorong politik identitas, penggunaan akun palsu, dan kekerasan gender berbasis online (KGBO) khususnya terhadap caleg perempuan.

 Bawaslu Ungkap Kampanye Ujaran Kebencian Dominasi Medsos

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengungkap kampanye bermuatan ujaran kebencian menjadi kerawanan paling banyak yang terjadi di media sosial pada tingkat provinsi.

Jumlahnya mencapai 50 persen. Disusul kampanye bermuatan hoaks sebesar 30 persen, dan kampanye bermuatan SARA 20 persen.

Baca juga: Bawaslu Agam Ajak Pemilih Pemula di MTI Canduang Ikut Pengawasan Pemilu Partisipatif

Hal ini disampaikan Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty saat launching 'Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024: Isu Strategis Kampanye di Medsos' seperti disiarkan langsung Youtube Bawaslu RI, Selasa (31/10/2023).

"Kampanye bermuatan ujaran kebencian adalah indikator yang paling banyak terjadi pada kampanye di media sosial dengan persentase 50 persen, disusul kampanye bermuatan hoaks atau berita bohong 30 persen, dan bermuatan SARA 20 persen. Artinya ujaran kebencian mendominasi," kata Lolly.

Data ini merupakan hasil dari identifikasi peristiwa dan kasus pelanggaran di Pemilu 2019, pemilihan sebelumnya, dan persiapan Pemilu 2024 lewat pendalaman ke pihak terkait yakni Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Perihal jumlah kejadian kerawanan kampanye di media sosial, Bawaslu mendapati ada 5 provinsi dan 22 kabupaten/kota yang punya kasus kampanye bermuatan ujaran kebencian, kemudian 3 provinsi dan 26 kabupaten/kota yang punya kasus kampanye bermuatan hoaks, disusul kampanye bermuatan SARA pada 2 provinsi dan 18 kabupaten/kota.

Sumber: Tribun Padang
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved