Citizen Journalism

Bayang-Bayang Stagnancy: Peningkatan KDRT dan Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan

SELAMA dua dekade sejak digagas pada tahun 2001, catatan tahunan (Catahu) menjadi satu-satunya rujukan kompilasi data nasional tentang kasus ...

Editor: Fuadi Zikri
Istimewa
Rahmatul Anggia, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas. 

Oleh Rahmatul Anggia, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas.
__________

 

SELAMA dua dekade sejak digagas pada tahun 2001, catatan tahunan (Catahu) menjadi satu-satunya rujukan kompilasi data nasional tentang kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, lembaga layanan korban kekerasan, institusi penegak hukum dan organisasi masyarakat sipil. 

Catahu merupakan satu-satunya dokumen laporan berkala yang mengompilasi kasus-kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan di tingkat nasional setiap tahunnya, mengenai data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan dan juga institusi penegak hukum.

Karena itu, penting memahami bahwa data dalam Catahu hanya merupakan indikasi dari puncak persoalan KBG terhadap perempuan di dalam realitanya. Data yang terhimpun adalah terbatas pada kasus yang dilaporkan oleh korban, peningkatan jumlah kasus bukan berarti jumlah kasus kekerasan pada tahun sebelumnya lebih sedikit melainkan karena jumlah korban yang berani melaporkan kasusnya semakin banyak dan akses ke lembaga pengaduan juga lebih luas.

Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia.

Secara global, korban KDRT umumnya perempuan. Perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Hal ini juga didukung bahwa laki-laki sering menggunakan kekerasan untuk membela diri. Sejumlah penelitian telah mendemonstrasikan korelasi antara tingkat kesetaraan gender dan laju KDRT di sebuah negara, yang menunjukkan bahwa negara dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah memiliki laju KDRT yang tinggi . 

KDRT adalah salah satu kejahatan yang jarang dilaporkan baik dari laki-laki maupun perempuan. Korban KDRT juga sering mengalami pengasingan, trauma, masalah keuangan, pengucilan, ketakutan, dan rasa malu.

KDRT sering terjadi ketika pelakunya yakin bahwa ia berhak menggunakannya. Hal ini menyebabkan siklus kekerasan antar generasi pada anak dan anggota keluarga yang lain, yang mungkin menganggap kekerasan dapat diterima atau dimaafkan. Banyak orang tidak mengaku sebagai pelaku kekerasan atau korban, karena mereka beranggapan itu adalah konflik keluarga yang tidak terkendali.

Karena korban tersebut mengalami disabilitas fisik, agresivitas, masalah kesehatan kronis, penyakit mental, kemiskinan, atau tidak mau bersosialisasi secara sehat. Korban-korban KDRT banyak mengalami gangguan psikologis seperti gangguan stres pasca-trauma. Anak-anak yang tinggal di keluarga bermasalah sering menunjukkan masalah psikologis seperti suka menghindar, takut terhadap ancaman dan agresi yang tidak terduga, yang dapat berujung pada trauma berkepanjangan. Sehingga stagnansi menjadi bayang-bayang bagi pribadi korban KDRT.

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia pada 2022. Terhitung dari Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5 persen atau 16.745 korban adalah perempuan.

Contoh kasus kekerasan berbasis gender, seorang ibu, Budiati (31) korban KDRT ditemukan meninggal dunia dalam kondisi memeluk bayinya di dalam kamar rumah kontrakan di Pati. Komnas Perempuan menyebut KDRT yang dialami Budiati merupakan bentuk femisida. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengatakan femisida adalah meninggalnya perempuan akibat puncak kekerasan berbasis gender. 

Femisida itu adalah kematian pada perempuan karena ia perempuan dan itu puncak dari kekerasan berbasis gender. Di kasus Pati, korban mengalami KDRT secara terus-menerus, kemudian tewas. Siti Aminah juga mengatakan kasus KDRT tersebut termasuk ke dalam kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan meminta kepolisian berkoordinasi dengan UPTD PPA untuk memenuhi pemulihan psikologis anak Budiati. Dia menyebut pemenuhan hak anak dalam kasus tersebut harus diperhatikan.

Sebelumnya, jenazah Budiati ditemukan di dalam kamar kontrakan Desa Kutoharjo, Kabupaten Pati, pada Rabu (14/6) malam. Mayat ibu tiga anak itu ditemukan dalam kondisi memeluk bayinya dan di sekitarnya dua anaknya yang berusia empat tahun dan dua tahun. Polres Pati melakukan penyelidikan dan terungkap Budiati dianiaya suaminya, Mashuri (45) hingga akhirnya meninggal. Mashuri telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

Halaman
12
Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved