Kisah Fatmiyeti Kahar, Menyingkap Tabir Gelap Kasus Kekerasan Perempuan
Kasus pengusiran seorang korban pelecehan seksual, merupakan momentum besar dalam hidup Fatmiyeti Kahar kala pulang ke tanah Pariaman untuk menjadi
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Mona Triana
Kasus pengusiran seorang korban pelecehan seksual, merupakan momentum besar dalam hidup Fatmiyeti Kahar kala pulang ke tanah Pariaman untuk menjadi pemerhati tindak kekerasan perempuan dan anak.
Sekembalinya tahun 1989, perempuan kelahiran 1965 itu diminta oleh kakaknya untuk menangani kasus pelecehan seksual di Cubadak Air, Kota Pariaman (lokasi daerah itu saat ini).
Kasus pelecehan yang terjadi kala itu membuat korban (perempuan) harus angkat kaki dari kampung halamannya, atas kesepakatan ninik mamak (pemuka adat di Minangkabau) dan warga setempat.
"Kita kawal kasus ini ada berani?," Kata Fatmiyeti mencontohkan tawaran kakaknya 32 tahun silam.
Bermodal rasa empati yang tertanam di lingkungan keluarga saat tumbuh di Bukittinggi dan tempat nongkrongnya di Birmantara Radio Bukittinggi semasa sekolah, tantangan kakaknya tidak bisa ditolak Fatmiyeti muda.
Tekadnya jelas ingin merawat rasa empati yang sudah tertanam lama di dirinya. Ajakan kakaknya, ia realisasikan bertiga dengan tambahan seorang teman.
Teta Sabar sapaan akrabnya mulai menangani kasus itu dengan sejumlah makian, cacian dan penolakan dari warga, pemangku adat dan pemerintah setempat.
Padahal perempuan yang hendak ia bela ini, merupakan korban pemerkosaan oleh saudaranya, namun korban malah diusir warga. Masyarakat sepakat mengusirnya agar tidak mencoreng nama kampung.
"Kami dianggap tidak punya kerjaan oleh masyarakat saat menangani kasus itu," jelas perempuann tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bukittinggi tahun 1985.
Bukannya surut, penolakan itu malah dijadikan modal oleh perempuan menginjak usia 57 tahun ini dan kakaknya untuk memperkuat kelompok mereka.
Pada tahun 1990 kelompok yang awalnya hadir atas rasa empati itu, menjadi lembaga agar memiliki posisi tawar di mata masyarakat dan pemerintah.
Mereka bertiga sepakat menjadikannya Lembaga Pelayanan Korban Tindak Kekerasan Perempuan dan Anak (LPKTPA) yang masih eksis sampai saat ini.
Kekuatan perempuan yang sempat merantau ke Jakarta dan Batam itu menjadi bertambah dengan adanya lembaga ini.
Terlebih sebelum lembaga itu berdiri ia mendapat sokongan dari calon suaminya buah perjodohan dari ibunya.
Sokongan itu cukup membuat Teta makin siap menjalani semua tantangan dan menikahi suaminya yang bertahan hingga sekarang.
Meski sudah berstatus lembaga, kasus yang jadi pemicu lembaga itu muncul tidak berhasil mereka tangani.
Malah kasus pertama yang ditangani LPTKPA adalah pelecehan seksual oleh mamak (saudara ibu) pada kemenakannya tahun 1990.
Kasus pertama itu mereka tangani dalam waktu satu pekan, menimbang amarah masyarakat yang terus mencuat.
Selama penanganan, korban selalu didampingi dan diamankan di rumah Teta agar tidak mendapat intimidasi dan ancaman oleh keluarga dan masyarakat.
Pendampingan itu berlangsung sampai kasus dilaporkan pada pihak kepolisian untuk diusut tuntas.
Saat kasus sudah sampai ke pihak kepolisian, kadang polisi cepat menanggapi kadang ada juga yang acuh tak acuh saja.
"Menyelesaikan kasus pertama itu kami perang batin," kata pencinta syair Chairil Anwar itu.
Perang batin maksud perempuan yang sempat jadi ketua komunitas Sanggar Kehidupan di Batam itu, karena masyarakat menganggap kasus kekerasan seksual ini tidak penting dan aib keluarga, jadi tidak perlu diungkit.
Bahkan mereka secara pribadi sempat di panggil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Padang Pariaman karena dianggap membuka aib nagari (setingkat kelurahan).
Sehingga setelah kasus pertama berhasil, anggota LPKTPA yang jumlahnya tiga orang di luar ketua, banyak menolak menangani kasus selanjutnya.
Padahal kasus pertama yang mereka tangani sempat membuat ketua LPKTPA mencuat dan didapuk sebagai pembicara di Kanada tahun 1991.
Saat ketua (kakak Teta) pergi jadi pembicara untuk waktu yang cukup lama, barulah keberanian Teta menghadang rintangan kembali muncul.
"Soalnya siapa lagi, ketuanya tidak di tempat," kata perempuan yang pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi tahun 1984 itu.
Keberanian Teta terus berlanjut, walau perlakuan yang sama ia dapatkan.
Terlebih saat lembaga itu menyentuh usia lima tahun (1995), jumlah kasus yang ditangani terus bertambah sehingga tekanan dari masyarakat makin menjadi.
Pengusiran, makian, kata kotor dan kejar-kejaran dengan masyarakat dan niniak mamak silih berganti menghiasi lika-liku perjalanan mereka.
Tidak terhitung juga makan batin itu mengundang tangis air mata bagi tiga perempuan itu.
"Paling sedih itu waktu kami dianggap mencari makan dari perjuangan ini," terang perempuan yang mengabdi pada lembaga itu dengan uang pribadinya.
Bahkan tiga perempuan itu sempat di cap sebagai pendamping kasus cabul oleh instansi kepolisian masa itu.
Sempat Dipecat dari LPKTPA Tahun 1995
Usia lembaga mulai matang, tapi Teta dihadapi persoalan pelik saat ada persetubuhan antara ayah kandung dan anak di kawasan rumahnya (Cubadak Air).
Ragam nasehat dari pemuka adat, agama dan masyarakat setempat membuat perempuan yang hobi membaca ini, berpaling untuk tidak menyelesaikan kasus itu. Terlebih tempat kasus itu terjadi, suaminya sedang menjabat sebagai kepala desa.
Namun upaya anak kelima dari sembilan bersaudara itu terhendus oleh kakaknya, ia langsung diberhentikan pada tahun 1995.
Padahal selama lima tahun mengabdi dalam lembaga sukarela itu, ia sudah berhasil mengawal lebih dari seratus kasus.
"Kakak itu orangnya tegas dan profesional, sehingga saya diberhentikan tanpa pertimbangan saya adalah adiknya," kata teta sembari tertawa kecil mengenang kondisi waktu itu.
Berhenti dari lembaga itu, perempuan yang senang melahap buku tersebut, mulai berfikir untuk meninggalkan pengabdiannya selama 5 tahun itu. Walau sudah banyak memakan tenaga, fikiran, air mata dan perasaan.
Saat diberhentikan, Teta kembali menekuni pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, kelihainnya memasak terus ia asah.
Sampai akhirnya pada 1997 teta mendapat pelatihan mengolah tape kering di Jawa Barat oleh pemerintah setempat.
Kesibukannya mengolah tape kering, sempat membuat teta tidak kepikiran untuk kembali.
Melalui pelatihan itu ia banyak mendapat undangan sebagai trainer di sejumlah daerah di Sumatera Barat (Sumbar) dan membuka usaha serupa di Kota Pariaman sampai saat ini.
Tawaran Kedua untuk Selamanya
Seiring pesatnya perkembangan tape kering yang digeluti Teta, kasus tindak kekerasan perempuan dan anak terus berjatuhan di Padang Pariaman.
Ketua lembaga kembali memintanya untuk aktif sekitar tahun 1998, saat itu ada sebuah kasus yang berhubungan dekat dengannya, sehingga ibu tujuh anak itu tidak bisa menolak.
"Kalau tidak kita membantu siapa lagi," kata mantan penyiar Birmantara Radio Bukittinggi mengutip ajakan kakaknya.
Benar saja ajakan itu tidak bisa ia tolak, meski awalnya sulit untuk Teta fokus seperti saat pertama berkecimpung.
Namun, pada tahun 1999 ketua LPTKPA kembali didapuk jadi pembicara ke luar negeri untuk waktu lama. Teta harus jadi ujung tombak lembaga sampai kakaknya kembali.
Tapi saat kakaknya kembali, pucuk pimpinan itu tidak kembali pula padanya, sampai sekarang teta yang memegang penuh kendali LPKTPA.
UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jadi Titik Balik
Sejuta rintangan untuk terus bertahan di tengah kebobrokan masyarakat Padang Pariaman atas kekerasan perempuan dan anak memang sulit dikesampingkan LPKTPA.
Rintangan budaya, agama dan antipati pemerintah, membuat LPTKPA selalu dihadapi jalan terjal dan berlubang.
Beruntung pada tahun 2003 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, peraturan ini cukup menjadi pijakan kuat bagi lembaga itu terus bekerja.
Keberanian baru kembali mereka kumpulkan, rasa takut akan anggapan masyarakat sudah bisa mereka tepis satu persatu.
Berpegang pada aturan tersebut, pemuka adat dan pemerintah yang awalnya menganggap lembaga ini kurang kerjaan tidak bisa lagi mengintimidasi.
Persoalan budaya dan agama malah mulai bisa menjadi teman pendamping untuk mengungkap kasus kekerasan.
"Sehingga semenjak ada peraturan itu, kerja kami semakin banyak, korban sudah mau bersuara," kata Teta dengan mata berbinar menggambarkan kondisi masa itu.
Sejumlah orang tua yang takut mendapat intimidasi dari masyarakat, mulai mengerti akan pentingnya perlindungan pada anak mereka.
Bahkan pada tahun 2003 LPKTPA diundang untuk memperingati hari kekerasan anak di Jakarta, sejak saat itu lembaga itu makin laku di Padang Pariaman.
Ragam sosialisasi mulai gencar dilakukan oleh Teta dan koleganya, bahkan mereka didapuk untuk jadi pembicara di sejumlah instansi.
Minimal 50 kasus terus dihadapi oleh LPTKPA dalam satu tahun sejak peraturan itu muncul.
Bencana Gempa 2009 Sumbar Jadi Kasus Pelecehan Anak Terbanyak
Perjalanan LPTKPA tentu belum berakhir dengan adanya aturan itu, meski hampir semua kasus memiliki motif dan latar belakang yang sama. Ternyata Teta mendapat tantangan baru.
Kondisi kalut saat musibah Gempa megnitudo 7.9 mengguncang Sumbar tahun 2009, membuat Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman terdampak.
Masyarakat yang dalam kondisi duka harus tidur di tempat pengungsian akibat rumahnya rusak dan potensi gempa susulan kembali datang.
Ternyata tempat pengungsian ini bukanlah tempat aman bagi anak dan perempuan, kesibukan para orang tua memikirkan rumah dan rencana ke depan ternyata jadi peluang bagi para predator.
"Tahun 2009 dan 2010 itu kasus terbanyak yang kami catat, korbannya kebanyakan anak perempuan," terang teta menunjukan raut sedih di balik kaca matanya.
Ia memang tidak menyangka di bawah tenda pengungsian BNPB dan BPBD itu terjadi persetubuhan, pelechan dan pemerkosaan.
Menurutnya orang tua yang sudah lepas kontrol pada anaknya, malah jadi kesempatan untuk para pelaku bekerja.
Melihat kondisi tersebut, LPKTPA yang bekerjasama dengan sejumlah NGO pada masa itu memunculkan inovasi untuk membangun rumah tumbuh.
Rumah berdinding triplek, berkas kayu ini, ditujukan untuk ibu hamil, anak perempuan remaja, balita dan lansia istirahat.
"Waktu itu kami dapat bantuan rumah tumbuh sebanyak 6 buah, empat di Kota Pariaman dan dua di Kabupaten Padang Pariaman," ujar mantan penyiar radio damai itu.
Inovasi dari LPKTPA ini sempat mendapat reward oleh sejumlah NGO, bahkan Teta sering pergi ke sejumlah tempat bencana untuk memastikan keamanan perempuan dan anak setelah kejadian itu.
Kasus Pelecehan Seksual Ibarat Gunung Es
Meski sampai saat ini zaman terus berkembang dan kemampuan masyarakat makin meningkat, kasus pelechan seksual pada perempuan dan anak tidak akan habis.
Buktinya sejak tahun 1990 Teta Sabar bersama lembaganya tidak pernah berhenti mendengar tangis korban dan keluarganya sampai saat ini.
Pengawasan orang tua pada anak baginya adalah kunci untuk meminimalisir kejadian ini.
"Kemajuan zaman malah membuat korban terus berjatuhan, jadi memang peran orang tua yang bisa mengatasinya," jelas perempuan itu dengan suara rendah.
Baginya kontrol terpenting yang harus dilakukan orang tua adalah membatasi jam malam anaknya serta penggunaan telepon pintar.
Kendati kasus ini tidak akan pernah habis, Teta mengaku ia akan tetap berusaha mendampingi para korban.
Pendampingan ini merupakan buah rasa empati yang didapat Teta sejak kecil. Teta kecil saat silih berganti kedatangan tamu yang dibawa sang ayah.
Para tamu itu adalah orang yang membutuhkan bantuan karena memiliki kekurangan secara ekonomi dan fisik.
Mau tidak mau Teta bersama kakaknya sejak dulu sudah bergantian untuk beradaptasi dan bergaul dengan para tamu.
"Jangan berharap sesuatu dari orang, bantu orang itu pasti ada balasan untuk kita dari orang lain," ujar Teta mengutip pesan ayahnya yang tidak akan pernah ia lupakan.
Selain lingkungan keluarga rasa empati ini merupakan buah dari pergaulannya semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Sejak SMP Teta remaja selalu nongkrong di Birmantara Radio Bukittinggi bersama anak jalanan, broken home dan remaja yang kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya.
"Bekal empati itu yang membuat saya mengutuk antipati masyarakat tahun 1989 saat saya pulang kampung," katanya.
Namun makin kemari kemarahan dan rasa empati Teta Sabar malah berbuah cinta pada kampung halamannya.
Teta mengaku akan tetap menempuh jalan yang ia arungi saat ini selama tenaganya masih kuat.
"Saya akan terus mengawal semua kasus selagi diberi tenaga, sampai tangis para perempuan (korban) berhenti," kata perempuan yang disapa Teta oleh semua usia itu.
Agar perjuangan tidak terhenti saat tenaganya habis, Teta malah sudah menyiapkan regenerasi.
Kata Teta ia sudah membimbing anak keempatnya untuk berjalan di bidang yang sama.
Jika ibunya hanya tamatan SMA dan menimba ilmu dari pengalaman dan buku, anak gadisnya ia kuliahan di bidang tersebut.
"Saya harap anak saya itu mampu meneruskan apa yang sudah kakak saya mulai dan saya teruskan hingga saat ini," katanya sembari membenarkan kaca mata.
(TribunPadang.com/Rahmat Panji)