Advertorial

Mantan Ketua PWI Sumbar Ajak Instansi: Jangan Layani Wartawan, yang tak Paham Kode Etik Jurnalistik

Dalam praktiknya, ada media dan wartawan yang mengabaikan Undang-Undang Pers, Kode Etik, dan Aturan Dewan Pers dalam melaksanakan tugas.

Editor: Emil Mahmud
ISTIMEWA
Wartawan senior Sumbar yang juga Mantan Ketua PWI Sumbar, Heranof Firdaus 

Oleh publik atau masyarakat, media mainstream dianggap masyarakat sebagai media yang memiliki budaya kerja yang baik.
Nah, budaya kerja yang baik itu tentunya akan terakumulasi pada dirinya, sehingga dia bisa menjadi pribadi yang baik. Dan, pribadi yang baik tentunya menghasilkan karya-karya yang bermutu. "Itu logika berpikirnya," ujar Heranof.

Pensiunan RRI itu juga menyorot karya wartawan abal-abal yang tidak bermutu dan merugikan pihak lain. Wartawan abal-abal, kata dia, sering kali berkolaborasi dengan LSM untuk mendapatkan data lembaga negara. Dan, data tersebut kemudian dijadikan sebagai negosiasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

"Negosiasi yang dimaksud di sini adalah seperti tanda kutip. Misalnya, meminta uang agar data yang didapat tidak dibocorkan ke publik."

"Ini sama dengan menakut-nakuti dan bisa dikatakan ini perbuatan pemerasan dan bisa dilaporkan ke polisi. Tapi kalau dia bukan wartawan abal-abal dan medianya terverifikasi Dewan Pers, bisa dilaporkan ke Dewan Pers," katanya.

Saat ini, katanya melanjutkan, memang sulit memberantas wartawan abal-abal. Karena dia bukan bakteri. Wartawan abal-abal ini bisa dilihat dari perilaku dan produk beritanya.

Kalau beritanya salah, maka akan ketahuan bahwa wartawannya abal-abal dan tidak memahami tentang jurnalistik. Sedangkan perilakunya, bisa dilihat dari dia sebagai masyarakat dan sebagai wartawan.

"Kalau kami di PWI, selain ada kode etik wartawan, juga ada kode perilaku. Karena, wartawan itu tidak hanya menjaga kualitas beritanya, tapi juga menjaga perilakunya. Itulah aturan yang dikeluarkan PWI. Kode perilaku ini harus dijaga oleh semua anggota PWI di mana pun," bebernya.

Heranof pun juga mengajak semua instansi, baik pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta untuk tidak perlu melayani wartawan abal-abal, termasuk untuk negosiasi. "Sejatinya, wartawan itu bukan negosiator, wartawan itu adalah pewarta atau mencari berita untuk dilaporkan. Kalau ada wartawan abal-abal, sebaiknya tidak perlu dilayani," ujarnya.

Saat ini, sebut Heranof, Dewan Pers terus gencar melakukan verifikasi media dan sertifikasi wartawan guna menghilangkan terminologi wartawan abal-abal.

Dan, memang diakuinya, istilah wartawan abal-abal ini sulit dihilangkan. Karena, perkembangan wartawan di era digitalisasi saat ini seperti jamur di musim hujan.

"Jumlah wartawan beriringan dengan jumlah media tempat wartawan bekerja. Tentunya, ini butuh waktu yang panjang bagi Dewan Pers untuk melakukan verifikasi terhadap media dan juga wartawannya, meskipun sudah ada organisasi dan lembaga pendidikan yang memiliki izin dari Dewan Pers untuk melakukan sertifikasi kepada wartawan," katanya.

Di Indonesia, sebutnya, ada beberapa organisasi yang diberikan izin untuk menyelenggarakan uji kompetensi wartawan atau UKW, yaitu PWI, AJI, IJTI dan juga organisasi media online seperti AMSI dan SMSI, termasuk RRI dan beberapa perusahaan pers. Bahkan di Sumbar, beberapa media massa yang boleh menyelenggarakan UKW.

Namun yang disayangkan, di tengah adanya banyak organisasi dan perusahaan pers yang tersebar di Indonesia mendapatkan izin dari Dewan Pers untuk menyelenggarakan UKW, ternyata ada juga lembaga yang mengeluarkan sertifikasi untuk wartawan. Lembaga ini sudah 2 tahun mengeluarkan sertifikasi untuk wartawan.

Dewan Pers, sebut Heranof, sudah mengeluarkan sikap usai melakukan pertemuan dengan organisasi wartawan. Hasilnya, Dewan Pers meluruskan, bahwa sertifikasi wartawan harus dilakukan oleh lembaga Pers, tidak bisa oleh lembaga yang mengurus semua lapangan pekerjaan seperti lembaga tersebut.

Sikap Dewan Pers ini juga ditegaskan oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Usman Kanson, yang menyatakan bahwa Dewan Pers sebagai satu-satunya lembaga yang sah dan diakui pemerintah dalam melakukan uji kompetensi wartawan.

"Wartawan itu profesi yang unik dan tersendiri. Lembaga itu sertifikasi untuk orang yang sedang mencari pekerjaan atau akan bekerja. Kalau wartawan kan dia sudah bekerja dan hanya butuh disertifikasi. Dan, sertifikasi itulah yang dikeluarkan Dewan Pers melalui organisasi pers. Jadi, tidak bisa sertifikasi wartawan dikeluarkan oleh lembaga lain," pungkas Heranof. (*/adv/rls)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved