Advertorial

Mantan Ketua PWI Sumbar Ajak Instansi: Jangan Layani Wartawan, yang tak Paham Kode Etik Jurnalistik

Dalam praktiknya, ada media dan wartawan yang mengabaikan Undang-Undang Pers, Kode Etik, dan Aturan Dewan Pers dalam melaksanakan tugas.

Editor: Emil Mahmud
ISTIMEWA
Wartawan senior Sumbar yang juga Mantan Ketua PWI Sumbar, Heranof Firdaus 

KEBEBASAN Pers di Indonesia selain berdampak positif terhadap kehidupan pers dan masyarakat, juga berimplikasi negatif. Salah satunya, menjamurnya jumlah media dan wartawan di Indonesia.

Rilis yang diterima redaksi menyebutkan, dalam praktiknya, ada media dan wartawan yang mengabaikan Undang-Undang Pers, Kode Etik, dan Aturan Dewan Pers dalam melaksanakan tugas.

Media-media seperti itu tak jarang menyalahgunakan profesinya, jauh dari profesionalisme, dan beroperasi tidak mengantongi Standar Perusahaan Media dan Standar Kompetensi Wartawan seperti diatur oleh Dewan Pers. Oleh sebagian kalangan, wartawan dan media seperti itu disebut abal-abal.

Wartawan senior Sumbar yang juga Mantan Ketua PWI Sumbar, Heranof Firdaus di Padang, Minggu (13/11/2022) menyampaikan bahwa wartawan 'abal-abal' adalah istilah bagi narasumber.

Tapi, bagi kalangan wartawan yang menjaga integritasnya, wartawan 'abal-abal' ini disebut dengan wartawan baru.

"Bagi saya, wartawan baru itu masih memerlukan pembinaan, mereka yang masih sangat membutuhkan pendidikan ilmu jurnalistik, pendidikan perilaku wartawan, peningkatan kompetensi dan bergabung dalam organisasi profesi wartawan," kata Heranof, Minggu (13/11/2022).

Mantan Firdau5
Mantan Ketua PWI Sumbar, Heranof Firdaus

Baca juga: PT Semen Padang Kerja Sama dengan Wali Kota se-Sumbar Percepat Pembangunan Daerah

Ada tiga hal yang perlu dicatat apabila seseorang itu menyatakan profesinya sebagai wartawan. Pertama, dia harus punya ilmu tentang jurnalistik.

Kedua, dia harus memahami kode etik jurnalistik. Karena, tidak ada profesi di dunia ini yang tidak mempunyai kode etik.

"Pengacara, dan dokter yang merupakan profesi top sekali pun, punya kode etik yang harus dipatuhi. Begitu juga dengan wartawan. Kalau wartawan tidak punya ilmu tentang jurnalistik dan tidak memahami kode etik jurnalistik, maka dia bukan seorang wartawan," ujar Heranof.

Kemudian yang ketiga, wartawan itu punya organisasi. Di Indonesia, ada 26 organisasi wartawan. Namun yang diakui sebagai organisasi yang terverifikasi oleh Dewan Pers, hanya PWI, AJI, IJTI, SMSI, PFI dan AMSI. "Terserah mau pilih organisasi yang mana," ungkap Heranof.

Istilah wartawan abal-abal, sebut Heranof, muncul di era Ketua Dewan Pers dijabat oleh Yosep Stanley Adi Prasetyo. Dimana ketika itu, banyak oknum wartawan yang tidak punya identitas, organisasi dan berintegritas.

Sampai sejauh ini, identitas yang dimaksud adalah medianya terverifikasi dan wartawannya berkompeten.

"Dua (media terverifikasi dan wartawan berkompeten) hal ini lah yang menjadi identitas bagi Dewan Pers, disamping setiap wartawan itu harus menjaga integritasnya. Kalau ada di luar hal itu, bisa diistilahkan sebagai wartawan abal-abal menurut Dewan Pers. Wartawan abal-abal inilah yang merusak profesi wartawan," katanya.

Heranof menyampaikan bahwa apapun itu profesinya, baik itu dokter, pengacara, polisi dan TNI, atau profesi apapun itu, dia wajib menjaga integritasnya.

Bagi profesi wartawan, itu kembali bagaimana dia menjaga integritasnya. Ada yang memilih bekerja di media mainstream seperti radio, televisi, dan media cetak.

Baca juga: PT Semen Padang Siap Jadi Offtaker RDF di Kota Padang

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved