Derita Tak Berujung Padagang Blok III Pasar Raya Padang, Dari Gempa 2009 Hingga Kenaikan Harga BBM
Satu jam berada di kawasan Blok III Pasar Raya Padang sulit sekali untuk berpapasan dengan pembeli. Sejumlah kios sudah terkunci rapi dan yang masih..
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Fuadi Zikri
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Satu jam berada di kawasan Blok III Pasar Raya Padang sulit sekali untuk berpapasan dengan pembeli. Sejumlah kios sudah terkunci rapi dan yang masih buka sedang beres-beres untuk tutup.
Jalan dari parkiran hingga ke depan kios bagian dalam kawasan Blok III Pasar Raya Padang sore ini seperti jalan tol yang bebas hambatan.
Kondisi serupa ini kata seorang pedagang Blok III Pasar Raya Padang, Rahmatsyah, sudah terjadi sejak pagi hari.
Pria berusia 54 tahun ini mulai berjualan sejak pukul 01.00 WIB dini hari.
Baca juga: Suka Duka Yuska Ramadhan, Penyepuh Emas dan Perak di Pasar Raya Padang
Berjualan saat sejumlah orang masih tertidur lelap hingga menjalani rutinitas, Rahmat mengaku memang ada penurunan pemasukan beberapa waktu belakang.
Penurunannya sejalan dengan jumlah pembeli yang terus menurun .
"Pagi tadi sedikit ramai sih," kata pria yang menggantungkan kacamata di baju kaosnya.
Baca juga: Rusak Karena Gempa 2009, Pemko Padang Bangun Ulang Pasar Raya Fase VII, Anggaran Rp146 Miliar
Bagi pria yang sejak Sekolah Dasar (SD) tumbuh di kawasan Pasar Raya itu, penurunan pembeli ini sudah mulai terjadi setelah gempa magnitudo 7.6 melanda Kota Padang tahun 2009.
Sembari mengikat cabai merah giling di kiosnya, Amaik —sapaan akrab Rahmatsyah— mengurai sejumlah kenangan semasa kecil.
Sejak tahun 1980-an saat ia tumbuh besar di Pasar Raya Padang, sembari menemani ayahnya berjualan, kondisi pasar semasa itu sangat ramai.
Amaik kecil, waktu itu masih gemar mengitari pasar sepulang sekolah, hingga membuatnya tersesat.
"Jadi saya lupa dimana kios ayah saya," kata pria yang melanjutkan usaha ayahnya awal tahun 1990-an itu.
Keramaian semasa itu terangnya terus berkurang sewaktu gempa terjadi di Kota Padang tahun 2009.
Pasar Raya Padang memang ikut terdampak akibat gempa itu, hanya saja Pasar Inpres III —nama kawasan Blok III Pasar Raya Padang sekarang— bangunannya masih layak digunakan.
Hal itu setelah adanya uji kelayakan dari Universitas Andalas masa itu, namun pemerintah tetap bersikukuh untuk membongkar Pasar Inpres III.
Pembongkaran terjadi pada tahun 2010, saat pembongkaran sejumlah pedagang diungsikan sementara waktu —selama 7 tahun— karena perbaikan gedung.
Setelah perbaikan selesai, Pasar Inpres III itu pada 2017 berubah nama menjadi Blok III Pasar Raya Padang.
Selain nama, kondisi pasar yang awalnya lega dengan kios luas serta berada persis di dekat jalan setelah perbaikan berubah total.
"Liat saja kondisinya sekarang, jarak antar kios rapat, perubahannya 100 persen," tuturnya sembari mengangkat tangannya menunjuk kios dan jalan dekatnya.
Wajah baru Blok III Kawasan Pasar Raya Padang ini, membuat pemasukan pedagang turun.
Semua itu terjadi karena akses ke dalam pasar makin jauh serta penurunan jumlah kendaraan antar kota yang singgah.
Terlebih jelang masuk ke kios kawasan Blok III Pasar Raya Padang, sejumlah pedagang sudah banyak berjualan di pintu masuk dekat kendaraan umum berhenti.
"Jadi yang masuk ke dalam hanya beberapa pembeli saja," terang pria yang lahir di Kota Padang itu.
Namun kondisi itu berangsur membaik, saat sejumlah pembeli mulai masuk ke bagian dalam untuk mendapatkan harga lebih murah dan barang beragam.
Hanya saja selang 3 tahun setelah 2017, kondisi Pasar Raya Padang kembali sangat sepi saat pandemi Covid-19 datang awal 2020.
Pandemi, membuat aktivitas masyarakat terbatas, karena tidak boleh keluar rumah untuk menekan penyebaran Covid-19.
Kondisi semasa pandemi ini berdampak langsung pada seluruh pedagang Pasar Raya Padang, karena adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kebijakan lainnya untuk mengantisipasi Covid-19.
"Bahkan tidak ada masyarakat yang belanja langsung ke kios saya," terangnya mengenang masa sulit itu.
Dua tahun para pedagang kawasan Pasar Raya Padang terdampak pandemi Covid-19 (2020-2021), pada awal tahun 2022 kondisi mulai membaik saat kasus Covid-19 di Indonesia melandai.
Hanya saja sejumlah pasar satelit mulai menjamur selama pandemi Covid-19.
Sehingga saat pandemi melandai keberadaan pasar satelit mampu melemahkan para pedagang kawasan Pasar Raya Padang.
Masyarakat lebih suka belanja di pasar satelit, menimbang kondisi kesehatan.
Terlebih pasar satelit ini tidak seramai Pasar Raya dan jaraknya lebih dekat.
Kendati pandemi melandai, derita pedagang Pasar Raya masih berlanjut.
"Jadi masyarakat lebih banyak memilih belanja di pasar satelit setelah pandemi," terangnya.
Derita pedagang kawasan Pasar Raya kembali berlanjut saat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi terjadi.
Pedagang lainnya Ana Wati (52) berujar, kenaikan harga BBM Subsidi beberapa waktu lalu cukup mempengaruhi jumlah pembeli.
Melalui kenaikan harga BBM ini pembeli yang datang ke Pasar Raya berkurang, hal ini katanya tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat.
Kondisi ekonomi itu tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang belum berakhir sepenuhnya.
"Jadi pendapatan masyarakat masih belum stabil," ujarnya saat sedang berberes di kiosnya kawasan Blok III Pasar Raya Padang.
Dampak dari pendapatan yang belum membaik dan adanya kenaikan harga BBM, membuat masyarakat memilih untuk mengurangi belanja harian.
Sehingga pemasukan Ana kembali menurun dalam satu pekan terakhir.
Namun keduanya, Amaik dan Ana tidak mau menyerah untuk meraup pemasukan saat kondisi seperti ini.
Keduanya sepakat bahwa dalam beberapa waktu belakang selalu berupaya melayani pembeli dengan baik.
Serta menjaga pelanggan mereka yang sudah puluhan tahun percaya untuk bertransaksi di kiosnya.
Upaya tersebut yang membuat mereka terus bertahan meski badai derita sebagai pedagang kawasan Pasar Raya Padang belum juga usai.
"Belum juga pandemi usai, sekarang harga BBM naik, kedepan entah apa lagi," tutup perempuan yang sudah berjalan sejak tahun 2000 awal itu. (TribunPadang.com/Panji Rahmat)