Pemikiran Azyumardi Azra tentang Moderasi Beragama, Sangat Terlihat dalam Umat Islam

Pemikiran Azyumardi Azra tentang moderasi beragama, sangat terlihat dalam umat Islam.

Penulis: Rizka Desri | Editor: Rizka Desri Yusfita
KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO
Pemikiran Azyumardi Azra tentang moderasi beragama, sangat terlihat dalam umat Islam. Moderasi tentu saja juga terlihat di dalam berbagai lapangan kehidupan, dimana para pemimpin ataupun kalangan non muslim bisa menjadi pejabat publik, bisa jadi menteri, bisa jadi apa saja, gubernur, bupati wali kota, tidak ada halangan. 

TRIBUNPADANG.COM - Prof Azyumardi Azra, cendekiawan muslim asal Sumbar meninggal dunia akibat terkena serangan jantung di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Malaysia,Minggu (18/9/2022).

Prof Azyumardi Azra meninggal dunia di usia 67 tahun, simak pemikiran Prof Azyumardi Azra sebagai cendekiawan muslim.

Azyumardi Azra pernah menyampaikan pemikiran atau pandangannya soal moderasi beragama.

Dikutip dari Youtube Kemenag RI, Minggu (18/9/2022), menurut pemahaman Azyumardi Azra, keberagamaan di Indonesia itu sebetulnya beda dengan tempat-tempat lain.

Karena Indonesia sangat menonjolkan hal-hal yang bersifat inklusif, termasuk juga moderasi dalam beragama.

"Ini saya kira yang paling terlihat adalah di kalangan umat Islam, apalagi karena kalangan umat Islam ini jumlahnya 88,2 persen dari 260 juta penduduk. Jadi moderasi itu sebetulnya sangat terlihat dalam umat Islam," kata Prof Azra 2018 lalu.

Baca juga: PROFIL Azyumardi Azra, Cendekiawan Muslim yang Lahir di Lubuk Alung Padang Pariaman Sumbar

Misalnya, moderasi itu, kata Prof Azra, umat Islam Indonesia para pemimpinnya (ulama, kiai, ustaz) itu bisa menerima Indonesia tidak berdasarkan Islam, Indonesia tidak menjadi negara Islam, dan bersedia menerima Indonesia berdasarkan Pancasila.

"Itu tidak mungkin terwujud kalau tidak ada moderasi dari Umat Islam, ga mungkin karena jumlahnya besar," terang Prof Azra.

Oleh karena itulah, lanjutnya, sampai sekarang banyak pengamat di Eropa maupun Amerika masih terheran-heran, kenapa Indonesia yang mayoritas mutlak penduduknya muslim 88,2 persen tidak menjadi negara Islam, tidak negara berdasarkan Islam.

Sementara di Eropa banyak sekali negara berdasarkan agama, Kristen terutama, Calvinis, Anglikan.

Oleh karena itu menurutnya, secara historis dalam pembentukan negara Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sampai sekarang, moderasi itu kelihatan sekali dalam keberagamaan khususnya dalam hal ini Islam sebagai umat yang terbesar dan menerima Pancasila, empat prinsip dasar negara bangsa Indonesia, UUD 1945, NKRI, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

"Itulah moderasi yang diperlihatkan sepanjang sejarah," jelasnya.

Baca juga: Tiga Tokoh Asal Sumatera Barat yang Tutup Usia Sepanjang 2022

Dalam pandangan Prof Azra, moderasi tentu saja juga terlihat di dalam berbagai lapangan kehidupan, dimana para pemimpin ataupun kalangan non muslim bisa menjadi pejabat publik, bisa jadi menteri, bisa jadi apa saja, gubernur, bupati wali kota, tidak ada halangan.

Sebab tidak ada dalam konstitusi presiden dan wapres itu harus muslim.

"Ini menunjukan sikap moderasi yang saya kira sangat penting dari umat Islam sekali lagi sebagai warga negara terbesar di Indonesia," pungkasnya.

Profil Azyumardi Azra

Dilansir dewanpers.or.id, Azyumardi Azra, yang lebih akrab dipanggil Prof Azra, terpilih sebagai anggota Dewan Pers 2022 – 2025 dari unsur tokoh masyarakat.

Ia kemudian didapuk menjadi Ketua Dewan Pers pada periode ini.

Karir pendidikan tingginya ia awali di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982.

Setelah memperoleh beasiswa Fullbright, Prof Azra meraih gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University pada 1988.

Ia juga mendapatkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tetapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan meraih gelar MA keduanya pada 1989.

Pada 1992, ia menambah gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi berjudul "The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries."

Kembali ke Jakarta, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi Pemimpin Redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam.

Sebelumnya, ia pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat (1979 - 1985).

Pada tahun 1994 - 1995, Prof Azra mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College.

Pakar demokrasi dan Islam ini juga pernah menjadi professor tamu pada Universitas Filipina dan Universitas Malaya, Malaysia, pada tahun 1997.

Prof. Azra juga merupakan anggota Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997 dan 1999.

Sejak Desember 2006, ia menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sebelumnya sejak tahun 1998 hingga akhir 2006 adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992 - sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998).

Prof. Azra merupakan orang Asia Tenggara pertama yang diangkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004 - 2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004 - 2009).

Ia juga masih menjadi salah satu anggota Teman Serikat Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved