Opini Citizen Journalism
Indahnya Baso
ARTIKEL ini terinspirasi dari kejadian sekembalinya saya dan anak-danak dari pusara nenek dan kakeknya.
Inilah yang justru sering diabaikan dalam pola berbahasa kekinian.
Dalam riset yang dilakukan Revita (2010) dan (2014) untuk topik yang sama, ditemukan kesamaan hasil tetapi dengan kualitas yang semakin memburuk.
Dalam risetnya, Revita melihat pola generasi saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
Jika simpulan sederhana disampaikan, dalam waktu 4 tahun, terjadi penyusutan kato nan ampek.
Jika sebelumnya sudah menurun menuju 3, maka 4 tahun kemudian penyusutan mengarah ke 2.
Dengan kata lain, saat berkomunikasi, penutur cenderung menggunakan pola yang sebenarnya lebih tepat jika disampaikan untuk mitra tutur sebaya atau yang lebih muda.
Baca juga: Tim Pkm FIB Unand Sosialisasi Program Terpadu, Bangun Kampung Wisata Sejarah Lobang Japang di Padang
Kenapa hal demikian bisa terjadi?
Salah satunya adalah kurang diwarisinya nilai-nilai kearifan ini.
Orang tua sudah mulai kurang mengajarkan bertutur yang tidak langsung, berbahasa yang tidak straight forward, serta penggunaan baso-basi.
Selain itu, pandangan generasi muda, berbahasa seperti ini dinilai tidak efektif dan efisien karena memicu terjadinya multi tafsir.
Inilah yang keliru karena dalam bertutur yang tersirat, berbahasa menggunakan implikatur (Revita, 2020), dan berbasa-basi itu menunjukkan kearifan seorang dalam berkomunikasi.
Cara ini mesti diajarkan, dicontohkan, dan dipraktikkan. Kalau sudah demikian, indahnya sebuah baso akan terasa.
Kehidupan terasa aman dan damai karena orang lain pun nyaman serta senang dengan cara kita menyampaikan sesuatu.
Alangkah, indahnya baso itu.(*)