Opini Citizen Journalism

Indahnya Baso

ARTIKEL ini terinspirasi dari kejadian sekembalinya saya dan anak-danak dari pusara nenek dan kakeknya.

Editor: Emil Mahmud
ISTIMEWA/DOK.PRIBADI
Ike Revita, Dosen Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas 

Oleh Ike Revita, Dosen Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

ARTIKEL ini terinspirasi dari kejadian sekembalinya saya dan anak-danak dari pusara nenek dan kakeknya.

Melewati jalan yang relatif ramai membuat saya harus memegang tangan si Bungsu, Aqeela.

Biasanya, Aqeela berjalan dengan penuh semangat dan cenderung cepat. Inginnya berada terdepan terus. Perilaku Aqeela kali ini membuat saya bertanya.

Aqeela berjalan dengan memperhatikan setiap langkah kakinya. Ketika saya ikut melihat ke bawah, rupanya Aqeela memperhatikan buah berwarna merah, kecil-kecil yang bertebar di sepanjang jalan.

Pusara nenek dan kakek Aqeela memang di tengah ladang di antara perumahan penduduk.

Aqeela kemudian menghentikan langkahnya, dan memungut buah kecil berwarna merah, sambal berteriak kepada Abangnya, Faiz.

Mereka kemudian asyik mengumpulkan ini. Tidak ada tanya yang muncul mengenai buah ini.

Saya yang penasaran kemudian terpancing untuk menanyakan kepada Aqeela dan Faiz jika mereka mengetahui nama buah tersebut.

Aqeela dan Faiz awalnya menggeleng. Ketika saya pancing dengan clue, buah yang menunjukkan keindahan berbasa-basi.

Mereka secara serentak langsung menjawab dengan pertanyaan, ‘Jadi ini yang buah sago, ya Bunda?’

Nan kuriak kundi, nan merah sago. Nan baiak budi, nan murah baso. ‘Yang kurik adalah kundi, yang merah adalah saga. Yang baik budi, yang muarh adalah basa.’

Saya teringat dengan ungkapan yang selalu disampaikan oleh almarhum mama.

Baca juga: Pengabdian Kepada Masyarakat Prof Dr Herwandi MHum, Izin Pemakaian Motif Batik Karya Sendiri

Ike Revita
Ike Revita (ISTIMEWA)

Baca juga: 4 Mahasiswa FIB Unand Wisata ke Lobang Japang, di Padang: Tim PkM Tata Lokasi, Agar Layak Dikunjungi

Dalam mendidik kami, almarhum mama senantiasa mengajarkan betapa pentingnya menjaga perilaku, budi bahasa, serta perkataan.

Ungkapan ini selalu dikutip saat menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anaknya.

Almarhum Mama bahkan menegaskan dalam nasihatnya bahwa bantuak ndak bisa dirubah tapi parangai bisa dirubah.

Artinya adalah perilaku yang kurang baik dapat diperbaiki tetapi tidak dengan bentuk wajah. Allah SWT sudah memberi manusia dengan rupa tertentu yang memang tidak bisa diganti lagi.

Kalau dihubungkan dengan konteks sekarang, barangkali kalimat nasihat ini sudah terbalik. Bantuak bisa dirubah tetapi perangai tidak bisa diubah. 

Banyak orang dengan harta yang dimiliki kemudian melakukan operasi plastik, sehingga banyak bagian dari tubuhnya yang berubah sesuai dengan keinginan.

Akan tetapi, perangai atau tingkah laku sangat sulit bahkan tidak bisa diperbaiki.

Dalam kaitannya dengan ini, salah satu fenomena yang dilihat adalah situasi kekinian.

Jika diperhatikan, pola dan strategi berbahasa masyarakat cenderung mengalami perubahan.

Perubahan ini tentu tidak bisa dilawan, karena hakikatnya manusia itu berubah (Revita, 2018).

Hanya saja, perubahan itu idealnya ke arah yang lebih baik bukan semakin buruk.

Dalam diskusi yang dilakukan dengan beberapa teman dosen, orang tua yang memiliki anak remaja, serta guru-guru sekolah menengah, pada umumnya mengeluhkan hal senada.

Banyak generasi muda yang sudah melupakan nilai-nilai kearifan lokal saat berkomunikasi.

Mereka melupakan filosofi yang mencerminkan norma-norma yang dianut masyarat tempat mereka berasal dan dibesarkan.

Contohnya, adalah dalam Masyarakat Minangkabau, ada aturan bertutur yang disebut dengan kato nan ampek.

Dalam kato nan ampek atau yang disebut Revita (2008) dengan rule of speaking-nya Masyarakat Minangkabau tersurat regulasi bertutur dengan memperhatikan mitra tutur.

Siapa yang menjadi mitra saat berbicara akan mempengaruhi bentuk tuturan atau strategi. Apakah tuturan bisa disampaikan secara langsung atau perlu basa-basi.

Inilah yang justru sering diabaikan dalam pola berbahasa kekinian.

Dalam riset yang dilakukan Revita (2010) dan (2014) untuk topik yang sama, ditemukan kesamaan hasil tetapi dengan kualitas yang semakin memburuk.

Dalam risetnya, Revita melihat pola generasi saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.

Jika simpulan sederhana disampaikan, dalam waktu 4 tahun, terjadi penyusutan kato nan ampek.

Jika sebelumnya sudah menurun menuju 3, maka 4 tahun kemudian penyusutan mengarah ke 2.

Dengan kata lain, saat berkomunikasi, penutur cenderung menggunakan pola yang sebenarnya lebih tepat jika disampaikan untuk mitra tutur sebaya atau yang lebih muda.

Baca juga: Tim Pkm FIB Unand Sosialisasi Program Terpadu, Bangun Kampung Wisata Sejarah Lobang Japang di Padang

Kenapa hal demikian bisa terjadi?

Salah satunya adalah kurang diwarisinya nilai-nilai kearifan ini.

Orang tua sudah mulai kurang mengajarkan bertutur yang tidak langsung, berbahasa yang tidak straight forward,  serta penggunaan baso-basi.

Selain itu, pandangan generasi muda, berbahasa seperti ini dinilai tidak efektif dan efisien karena memicu terjadinya multi tafsir.

Inilah yang keliru karena dalam bertutur yang tersirat, berbahasa menggunakan implikatur (Revita, 2020), dan berbasa-basi itu menunjukkan kearifan seorang dalam berkomunikasi.

Cara ini mesti diajarkan, dicontohkan, dan dipraktikkan. Kalau sudah demikian, indahnya sebuah baso akan terasa.

Kehidupan terasa aman dan damai karena orang lain pun nyaman serta senang dengan cara kita menyampaikan sesuatu.

Alangkah, indahnya baso itu.(*)

 

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved