OPINI
Lunturnya Pemberantasan Korupsi
Opini berjudul: Lunturnya Pemberantasan Korupsi. Oleh: Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti (BHAKTI).
Oleh: Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
SALAH satu janji manis Presiden Jokowi di awal masa kepemimpinannya adalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pelan tapi pasti janji itu makin pudar hingga periode kedua jabatan sang presiden. Berbagai peristiwa jadi pemicunya, seperti revisi UU KPK, pemilihan pimpinan KPK dan skandal korupsi di masa pandemi.
Tidak hanya janji presiden, minimnya gagasan pemberantasan korupsi dari DPR dan lembaga peradilan juga memperparah keadaan. Terbukti Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini mengalami kejatuhan terburuk dalam dua puluh tahun terakhir.
Menurun dari poin 40 menjadi 37, dan menggeser peringkat Indonesia yang semula peringkat 85 menjadi peringkat 102. Tidak berlebihan jika situasi ini dapat menggambarkan lunturnya pemberantasan korupsi dengan berbagai indikator.
Pemecatan Pegawai KPK
Jika ingin melihat potret besar dari pemberantasan korupsi maka KPK bisa menjadi rujukan. Ujian terhadap keberadaan KPK dalam memberantas korupsi saat ini semakin menemui hambatan. Hal ini terlihat, dari 51 pegawai KPK yang secara tiba-tiba diberhentikan oleh pimpinan KPK dengan alasan tidak memenuhi syarat dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Jika dicermati, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan sesungguhnya memiliki rekam jejak panjang dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemberhentian ini menutup mata dari setiap jasa dan pengabdian pegawai KPK dalam upaya memberantas korupsi selama ini.
Selain itu, terdapatnya banyak pegawai berstatus penyelidik dan penyidik yang juga ikut diberhentikan membawa pengaruh terhadap perkara yang sedang ditangani. Tidak heran jika perkara-perkara seperti korupsi dana bantuan sosial (bansos), suap benih lobster hinga suap mantan sekretaris MA penanganannya melambat akibat situasi ini.
Imbasnya, membuat pengungkapan kasus-kasus tersebut jauh dari harapan, kemudian memberi kemungkinan peluang koruptor untuk mengelak dari tuntutan maksimal kejahatan yang mereka lakukan.
Carut marut pemberhentian pegawai ini tidak seharusnya dilakukan pimpinan KPK. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, sejatinya tidak ada perintah rangkaian tes seperti TWK dalam proses peralihan status kepegawaian KPK.
Konsekuensi TWK yang memungkinkan pegawai KPK kehilangan hak atas pekerjaannya merupakan tambahan persyaratan dan dapat dianggap melanggar UU KPK. Transisi yang tidak membebankan pegawai KPK sebagai orang yang terdampak dari kebijakan untuk lulus tes merupakan amanat jelas dari UU KPK.
Dugaaan pelanggaran UU yang dilakukan pada proses TWK kemudian terkonfirmasi dari temuan Ombudsman yang menyatakan adanya maladministrasi. Ombudsman bahkan menyebut secara substansi pertanyaan-pertanyaan dalam TWK tidak relevan karena biasa digunakan untuk kegiatan kontra intelijen (Tempo,23/07/2021).
Di samping itu, buruknya kondisi di internal lembaga pemberantasan korupsi ini bisa makin panjang jika ditambahkan kejadian-kejadian “nyeleneh” lainnya. Mulai dari penyidik KPK yang diketahui menerima suap, pegawai KPK yang kedapatan mencuri barang bukti, gagalnya KPK melakukan penggeledahan hingga KPK yang untuk pertama kalinya kehilangan truk berisi barang bukti.
Serangan Balik Terhadap Masyarakat Sipil
Selain masalah di tubuh kelembagaan, secara eksternal hubungan KPK dan masyarakat sipil saat ini mulai terlihat tidak lagi harmonis. Pelaporan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK terhadap aktivis Greenpeace salah satunya. Hal ini diakibatkan oleh tindakan aktivis menyorot laser teks ke gedung KPK pada 28 Juni 2021 malam.
Sebagain teks itu memuat tulisan “#MosiTidakPercaya” dan “Berani Jujur Pecat” sebagai gambaran kekecewaan para aktivis terhadap Pimpinan KPK. Namun tindakan tersebut tidak dianggap sebagai kritik publik oleh Pimpinan KPK, tetapi malah dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di kantor KPK.
Konflik antara KPK dan masyarakat sipil merupakan hal baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Seakan dilupakan, masyarakat sipil merupakan elemen penting dari eksistensi KPK selama ini. Saat banyak serangan terhadap KPK, baik secara kelembagaan maupun individu seperti “cicak vs buaya”, kriminalisasi pimpinan KPK dan serangan terhadap Novel Baswedan, masyarakat sipil lah yang kemudian berdiri membela KPK.
Jika dipahami dengan baik, kritik dan masukan kepada KPK dengan berbagai cara merupakan saran dari UU KPK. Pasal 1 angka 4 mengatur peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sehingga respon Pimpinan KPK yang melaporkan aktivis dalam memberikan kritik merupakan tindakan berlebihan.
Apalagi, laporan KPK kepada kepolisian terhadap masyarakat sipil menggunakan Pasal 207 dan 208 KUHP tentang penghinaan kepada penguasa negara. Tindakan yang menggambarkan kepemimpinan represif, anti demokrasi dan gagal fokus untuk menangkap pesan untuk memberantas korupsi.
Diskon Hukuman Koruptor
Di luar KPK, lembaga peradilan juga punya andil besar melunturkan upaya pemberantasan korupsi. Sebagai institusi di hilir pemberantasan korupsi, peradilan diharapkan mampu memberikan efek jera bagi koruptor.
Diringankannya hukuman terhadap koruptor adalah cerminan dari lemahnya komitmen hakim dalam pemberantasan korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Coruption Watch (ICW), sepanjang 2020 saja ada 14 koruptor yang hukumannya dikurangi melalui putusan hakim di MA (Kompas, 16/06/2021).
Nama-nama seperti Romahurmuzi, Sri Wahyumi Manalip, Hary Prasetio hingga mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi koruptor yang menikmati diskon hukuman tersebut. Perilaku ini, tidak hanya mengesampingkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga seakan menutup mata peradilan dari bobroknya aparat penegak hukum akibat korupsi.
Tren Vonis Korupsi 2020 yang dikeluarkan oleh ICW semakin mengusik rasa keadilan masyarakat, dari total 1.219 perkara korupsi yang disidangkan, rata-rata hukuman untuk koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Hukuman ringan masih mendominasi persidangan perkara korupsi. Di mana sebanyak 760 koruptor dihukum di bawah empat tahun penjara.
Sedangkan hukuman berat hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa saja. Bentangan data-data tersebut tidak hanya memperbesar rasa pesimis terhadap peradilan namun juga melunturkan upaya bersama memberantas korupsi. Apalagi yang diharapkan, jika akhirnya penjatuhan hukuman bagi koruptor tidak lagi berbeda dengan kejahatan biasa lainnya, seperti pencurian atau penghinaan. (*)