Berita Sumbar Hari Ini
Wacana Daerah Istimewa Minagkabau Ditanggapi Plt Wako Padang, Hendri Septa: Saya Sah-sah Saja
Terkait wacana Daerah Istimewa Minagkabau (DIM),Plt Wali Kota Padang Hendri Septa memberikan tanggapan atas usulan perubahan Provinsi Sumat
Penulis: Rima Kurniati | Editor: Emil Mahmud
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Terkait wacana Daerah Istimewa Minagkabau (DIM),Plt Wali Kota Padang Hendri Septa memberikan tanggapan atas usulan perubahan Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menjadi DIM tersebut.
Menurutnya, Provinsi Sumbar dalam sejarahnya termasuk provinsi yang menyelamatkan Indonesia.
"Saya sah-sah saja, tidak apa-apa. Sumbar itu sejarahnya termasuk provinsi yang menyelamatkan republik ini saat agresi militer kedua," kata Hendri Septa, Selasa (23/3/2021).
Ia menambahkan, saat itu ibu kota Indonesia atau pemerintahan darurat Indonesia dipindahkan ke Kota Bukittinggi, Provinsi Sumbar.
Hendri Septa mengatakan, Ia pernah bersama Ketua Bela Negara Provinsi Sumbar Mahyeldi berkunjung ke Gunung Omeh, Lima Puluh Kota.
Di sana berdiri sebuah bangunan megah, yang diketahui sebagai stasiun radio yang memberi tahu Indonesia masih ada saat peristiwa tersebut.
"Sebenarnya menurut saya, tidak masalah wacana Daerah Istimewa Minangkabau ini, karena memang kalau bukan adanya pemerintahan darurat tidak akan Indonesia," ungkapnya.
Menurutnya, jika tidak ada pemerintahan darurat Indonesia saat itu, kemungkinan Indonesia tidak akan ada sekarang.
Hendri Septa mengaku kagum dengan sikap Syafruddin Prawinegara yang langsung membentuk pemerintah darurat Indonesia di Bukittinggi.
"Kalau saat itu beliau serahkan saja atau menyerah ke penjajah tidak akan ada Indonesia. Begitu cerdiknya orang Minang ini," ungkapnya
Baca juga: Bahas Wacana Daerah Istimewa Minangkabau, LKAAM Sumbar akan Bertemu Anggota Komisi II DPR
Persiapan Naskah Akademik
Wacana untuk menjadikan Provinsi Sumatera Barat sebagai Daerah Istimewa Minangkabau atau DIM hingga kini terus bergulir.
Ketua Harian Badan Persiapan Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau (BP2DIM) M Sayuti Malik menyatakan, pihaknya telah menyiapkan naskah akademik terkait hal itu.
M Sayuti menjelaskan poin-poin kenapa harus ada penggantian nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau.
Menurutnya, matrilineal sistem merupakan aset negara Indonesia bahkan termasuk aset budaya dunia.
"Untuk itu perlu negara hadir melestarikannya dan mempertahankannya serta membinanya dengan baik. Dengan filosofi bersuku kepada ibu, bernasab kepada bapak, dan berpusako tinggi dari mamak," jelas M Sayuti, Kamis (18/3/2021).
Baca juga: Guspardi Gaus Minta Sempurnakan Naskah Akademik Provinsi DIM, Minangkabau Syaratkan Sato Sakaki
Baca juga: Wacana Sumbar jadi Daerah Istimewa Minangkabau, Rijel Samaloisa: Ancaman bagi Suku Minoritas
Lebih lanjut ia menyebut, Tanah Pusaka Tinggi Minangkabau ialah juga tanah air Indonesia perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan orang Minangkabau dan kepentingan bangsa Indonesia.
Sistem Pertanahan Minangkabau diatur dengan hukum adat dalam hukum tanah ulayat atau pusako tinggi.
Hal ini sudah diatur dengan Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatanya di Sumatera Barat.
"Kalau sudah lama pergi merantau, lalu punya jabatan tinggi, sebenarnya dia tidak punya waris untuk menerima pusako, tapi karena orang berkuasa, dibuatnya gelar. Akhirnya tidak bertegur sapa dengan orang sekampung. Itu harus kita antisipasi," ungkap M Sayuti.
Selain itu, nilai - nilai filosofi yang dianut oleh orang Minangkabau adalah nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, yang dikemas dalam ungkapan budaya bangsa "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai.
"Artinya orang Minangkabau juga berpaham nasionalis, paham islami, paham demokratis, dan paham egaliter," tambah M Sayuti.
Ia melanjutkan, sistem Demokrasi Minangkabau umumnya memakai dua kelarasan.
Pertama, Kelarasan Koto Piliang adalah semacam kelarasan yang titik dari atas atau turun dari langit atau peraturan itu turun dari pemimpin kepada rakyat setelah melalui kajian yang matang di tingkat pimpinan.
Kedua, kelarasan Bodi Caniago, yaitu sebelum pemimpin mengambil keputusan harus mendengar suara rakyat banyak dari bawah atau disebut juga membersut dari bumi.
Ada pula Demokrasi kelarasan Pisang Sikalek Hutan, artinya, sebelum keputusan diambil didengar pendapat pemimpin dan didengar pula pendapat rakyat.
Ada lagi demokrasi Lareh nan Panjang, yaitu bila keputusan itu berakibat merugikan rakyat dan juga nagari maka pemimpin tertinggi harus membatalkannya.
Kemudian, Sistem Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan (TTS) yaitu Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai, dan Tali Tigo Sapilin (TTSp) yaitu Adat, Agama, dan Undang undang telah hidup bertahun-tahun bahkan berabad di Minangkabau untuk mengawal adat nan sebatang panjang.
Kepemimpinan Orang Empat jinih adat (Pangulu, Manti, Malin, dan Dubalang) berfungsi mengawas adat Minangkabau di nagari yang disebut dengan adat selingkar nagari dan Kepemimpinan Jinih nan Empat Syara' (Imam, Khatib, Bilal, dan Kadhi) berfungsi mengawas syarak seluruh alam.
Kata M Sayuti, sistem kepemimpinan itu sudah diakui sejak dulu bahkan sekarang sudah tertuang dalam Perkap Polri Nomor 3 tahun 2015 tentang Perpolisian Masyarakat.
"Itu intinya, kalau itu sudah masuk semua ke dalam UU apa saja, itu sudah cukup. Tidak perlu banyak-banyak," kata M Sayuti.
Dia menyebut, banyak kasus di Minangkabau yang berkaitan dengan poin-poin tersebut.
Jika sistem matrilineal tidak dipertahankan lanjutnya, bisa saja nanti anak Minangkabau pindah suku.
Apabila pindah suku, berakibat pada implementasi harta pusaka.
"Mungkin saja dia tidak dapat lagi, kalau dia tidak dapat akan ada persoalan HAM. Dia mengklaim punya hak, padahal dalam adat sudah ada garisnya, kalau keluar dari suku, ya habis hak atas harta pusaka," tegas M Sayuti.
M Sayuti tidak ingin ada perkara terkait harta pusaka di Sumbar. (*)