OPINI
Kontroversi DPR saat Pandemi
Opini Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI).
Pembahasan omnibus law yang dipaksakan saat ini seakan-akan tidak ingin mendengarkan masukan rakyat sebagai bagian dari partisipasi publik yang diwajibkan dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi; seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Masyarakat yang dimaksud adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Penyerapan aspirasi publik sebagai prinsip utama proses legislasi di negara demokratis terancam tercederai dengan dipaksakannya pembahasan omnibus law.
Adanya aspirasi publik merupakan salah satu prinsip utama dalam uu pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sehingga DPR harus mengakomodasi aspirasi publik sebagai sebuah kewajiban uu tanpa menafikannya sehingga mencederai perintah uu.
Sorotan rakyat terhadap pembahasan RUU oleh DPR memang tidak pernah sepi. Masih segar dalam ingatan pada September 2019, DPR mendapat kritikan ketika lembaga wakil rakyat ini merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saat itu, selain UU KPK, rakyat juga menolak sebagian pasal-pasal RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
Penolakan terhadap revisi UU KPK dan RKUHP sampai memunculkan aksi turun ke jalan besar-besaran di sejumlah daerah bahkan hingga membuat jatuh korban jiwa.
Sejatinya DPR sebagai wakil rakyat perlu untuk melihat penolakan rakyat terhadap omnibus law karena sejak pembentukannya tidak ada informasi yang jelas sehingga menimbulkan keresahan masyarakat.
Rakyat memprotes secara formal proses penyusunan omnibus law yang tertutup. Dari segi substansi, beberapa hal yang menjadi polemik dari omnibus law terutama RUU Cipta Kerja adalah penghilangan upah minimum dan penerapan sistem upah per jam yang tidak diatur dengan detail, pengurangan pesangon, perubahan sistem kerja, liberalisasi hubungan kerja, serta fleksibilitas penggunaan karyawan alih daya (out sourcing).
Akhirnya sikap arif tentu harus diperlihatkan oleh DPR di tengah kondisi pandemi yang melanda negeri ini dengan rakyat sebagai korbannya.
DPR harus memahami asas salus populi suprema lex, yang berarti keselamatan kehidupan rakyat adalah hukum tertinggi.
Penerapan asas salus populi suprema lex perlu diterapkan agar kepentingan masyarakat lebih diutamakan, karena keselamatan kehidupan rakyat adalah hukum tertinggi. Jika tidak, tentu DPR akan kehilangan arti dan makna dari akronim DPR sebagai dewan perwakilan rakyat. (*)
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)