OPINI

Kontroversi DPR saat Pandemi

Opini Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI).

Editor: Saridal Maijar
Istimewa
Helmi Chandra SY 

SAAT ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap tidak peduli dengan nasib rakyat yang terdampak bencana pandemi Covid-19.

Pasalnya, bukan fokus membantu rakyat para anggota DPR justru melakukan beberapa hal yang dianggap kontroversial mulai dari meminta prioritas rapid test Covid-19 tanpa perlu antre, fasilitas uang muka pembelian mobil juga telah diberikan di tengah pandemi hingga melakukan kerja legislasi berupa pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja pada Selasa 14 April 2020.

Senada dengan ungkapan klasik crisis reveals character, yang berarti krisis atau situasi sulit akan menguak karakter sesungguhnya dari sebuah subjek, dalam hal ini tentulah cocok dengan DPR.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa wakil rakyat seakan tanpa sence of crisis karena melakukan manuver politik dengan melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja bersama para menteri dalam situasi pandemi Covid-19.

Hal tersebut menghadirkan impresi bahwa legislatif memanfaatkan momentum kelengahan rakyat pada saat tengah dihantam pandemi Covid-19 untuk meloloskan kepentingan sendiri dengan harapan sedikit resistensi.

Di tengah ketidakberdayaan rakyat kala krisis akibat pandemi Covid-19 yang semakin merusak banyak aspek kehidupan, langkah DPR dan pemerintah di bidang regulasi seperti ini tentu sangat mengecewakan.

Meskipun kemudian Presiden dan DPR sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dengan alasan untuk memberikan ruang pemerintah dan DPR mendalami substansi pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja.

Namun tetap tidak mengurangi kritik karena DPR tidak menunda omnibus law secara menyeluruh ditambah semua itu dilakukan setelah ada penolakan dari beberapa elemen buruh yang mengancam akan melakukan demonstrasi besar-besar pada 30 April 2020.

Padahal bagi DPR harusnya lebih fokus pada fungsi pengawasan dan anggaran dari pada fungsi legislasi sebab pemerintah memutuskan menambah belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020.

Melanggar Asas Keterbukaan

Sikap DPR yang tetap ngotot untuk membahas omnibus law tentu dapat dikatakan melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Masukan inilah yang sulit dilakukan dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, dimana untuk mencegah penyebaran virus masyarakat diminta untuk melakukan pembatasan jarak sosial (social distancing) dan pembatasan jarak fisik (physical distancing) sehingga masukan dari masyarakat tidak terserap dengan maksimal oleh DPR.

Padahal objek yang dikenai oleh aturan dalam RUU tersebut adalah rakyat itu sendiri. Maka tentu sukar untuk mengatakan DPR sungguh ingin membawa kepentingan rakyat yang diwakilinya padahal rakyat tidak dilibatkan.

Menafikan Partisipasi Publik

Pembahasan omnibus law yang dipaksakan saat ini seakan-akan tidak ingin mendengarkan masukan rakyat sebagai bagian dari partisipasi publik yang diwajibkan dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi; seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Masyarakat yang dimaksud adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu, untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Penyerapan aspirasi publik sebagai prinsip utama proses legislasi di negara demokratis terancam tercederai dengan dipaksakannya pembahasan omnibus law.

Adanya aspirasi publik merupakan salah satu prinsip utama dalam uu pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sehingga DPR harus mengakomodasi aspirasi publik sebagai sebuah kewajiban uu tanpa menafikannya sehingga mencederai perintah uu.

Sorotan rakyat terhadap pembahasan RUU oleh DPR memang tidak pernah sepi. Masih segar dalam ingatan pada September 2019, DPR mendapat kritikan ketika lembaga wakil rakyat ini merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat itu, selain UU KPK, rakyat juga menolak sebagian pasal-pasal RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.

Penolakan terhadap revisi UU KPK dan RKUHP sampai memunculkan aksi turun ke jalan besar-besaran di sejumlah daerah bahkan hingga membuat jatuh korban jiwa.

Sejatinya DPR sebagai wakil rakyat perlu untuk melihat penolakan rakyat terhadap omnibus law karena sejak pembentukannya tidak ada informasi yang jelas sehingga menimbulkan keresahan masyarakat.

Rakyat memprotes secara formal proses penyusunan omnibus law yang tertutup. Dari segi substansi, beberapa hal yang menjadi polemik dari omnibus law terutama RUU Cipta Kerja adalah penghilangan upah minimum dan penerapan sistem upah per jam yang tidak diatur dengan detail, pengurangan pesangon, perubahan sistem kerja, liberalisasi hubungan kerja, serta fleksibilitas penggunaan karyawan alih daya (out sourcing).

Akhirnya sikap arif tentu harus diperlihatkan oleh DPR di tengah kondisi pandemi yang melanda negeri ini dengan rakyat sebagai korbannya.

DPR harus memahami asas salus populi suprema lex, yang berarti keselamatan kehidupan rakyat adalah hukum tertinggi.

Penerapan asas salus populi suprema lex perlu diterapkan agar kepentingan masyarakat lebih diutamakan, karena keselamatan kehidupan rakyat adalah hukum tertinggi. Jika tidak, tentu DPR akan kehilangan arti dan makna dari akronim DPR sebagai dewan perwakilan rakyat. (*)

Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved