OPINI

Omnibus Law dan Langkah Penataan Regulasi

SAAT ini pemberitaan dalam ruang publik sedang didominasi oleh berita wabah penyakit virus corona (Covid-19) yang melanda negara ini bahkan dunia.

Editor: Saridal Maijar
Istimewa
Helmi Chandra SY 

SAAT ini pemberitaan dalam ruang publik sedang didominasi oleh berita wabah penyakit virus corona (Covid-19) yang melanda negara ini bahkan dunia. Meskipun demikian segala kebijakan negara tetaplah harus menjadi perhatian termasuk upaya penyederhanaan regulasi ini akan dilakukan oleh pemerintah dengan metode omnibus law atau sapu jagat.

Dalam pidato pelantikannya tanggal 20 oktober 2019 di MPR, presiden Jokowi menyampaikan 5 (lima) program utama pemerintahannya, mulai dari pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhanaan birokrasi, transformasi ekonomi hingga penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi.

Setidaknya pemerintah merencanakan omnibus law terhadap 3 (tiga) rancangan undang-undang (RUU) yaitu RUU cipta lapangan kerja, RUU ketentuan umum dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian dan RUU ibu kota baru. Hal ini dilakukan pemerintah tentu dengan tujuan sebagai upaya penataan peraturan perundang-undangan yang tidak terkendali (overregulated).

Namun pilihan kebijakan omnibus law ini mendapat banyak penolakan dari masyarakat dengan berbagai macam alasan mulai dari ketidakterbukaan pemerintah menyusan RUU hingga pasal-pasal yang dianggap merugikan masyarakat. Maka berdasarkan hal itulah menurut penulis setidaknya ada 3 (tiga) langkah penataan regulasi selain omnibus law.

Pertama, memaksimalkan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), sebagai salah satu unit Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia dalam menyusun prolegnas di lingkungan pemerintah Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan penyusunan program legislasi nasional di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Untuk mewujudkan visi tersebut, misi yang diemban BPHN adalah mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan dan kebenaran. Dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang terkandung dalam masyarakat. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum, mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, professional, bermoral dan beritegritas tinggi serta mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi dan berwibawa.

Dalam penataan regulasi sebenarnya BPHN perlu didorong untuk mampu menjadi lembaga yang mengatur setiap peraturan menteri tidak tumpang tindih serta menjadi lembaga yang mengatasi ego sektoral kementerian saat ini. Hal ini pernah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Bahkan, Mahkamah Agung (MA) memperkuat harmonisasi Kemenkum HAM untuk memberikan kepastian hukum dalam penyusunan regulasi di kementerian/lembaga negara yang tertuang dalam putusan Nomor 15/HUM/2019 setelah sebelumnya ada gugatan judicial review terhadap Permenkumham Nomor 23 Tahun 2018.

Kedua, membentuk lembaga independen, kelahiran lembaga independen, dengan masing-masing tugas dan kewenangannya, tidak lepas dari ide dasar tentang pembatasan dan pembagian kekuasaan, dalam pelaksanaan tugas kekuasaan negara. Ide tentang pembagian dan pembatasan kekuasaan pada mulanya berkembang sebagai manifestasi dari gagasan demokrasi konstitusional. Gagasan konstitusionalisme demokrasi menghendaki sebuah upaya untuk membatasi kekuasaan, agar pelaku kekuasaan tidak berprilaku sewenang-wenang dan korup. Lembaga independen untuk mengelola regulasi salah satu upayanya.

Pembentukan lembaga independen ini juga berhubungan dengan kewenangan pembentukan peraturan menteri oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tertentu, sangat berkaitan dengan kapasitas dan kualitas menteri. Skala pengaturan yang spesifik (bidang kementerian tertentu) dan kontrol langsung dari menteri dalam pembentukan suatu peraturan menteri menjadi dasar kualitas sumberdaya pembentuk.

Hal ini mengingat tidak sedikit peraturan menteri yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat baik dari pelaku usaha, masyarakat sipil hingga perguruan tinggi. Permasalahan ini dipengaruhi oleh kapasitas pembentuk peraturan menteri yang membuat aturan yang dianggap bertentangan denan berbagai peraturan perundang-undangan secara vertikal, tidak memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha serta menciptakan norma hukum di luar kewenangnnya sebagai pembantu presiden.

Pembentukan lembaga independen yang kerjanya khusus membenahi regulasi terutama peraturan menteri sangat kuat hubungannya dengan politik hukum pemerintah. Dalam politik hukum antara kebijakan hukum (legal policy) dengan pengambil kebijakan (policy maker) menjadi bagian yang sulit untuk dipisahkan. Pengambil kebijakan senantiasa adalah pemegang kuasa politik itu sendiri, yang berdekatan dengan kepentingan politik.

Dalam hal itulah, ada kaidah kepentingan politik yang biasanya sulit untuk membawa dalam posisi yang sesuai dan sama dengan tujuan yang dicita-citakan di dalam konstitusi maupun dituju oleh pendiri negara.

Ketiga, melakukan revisi terhadap UU No 12 Tahun 2011, sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Revisi UU No 12 tahun 2011 ini bertujuan menyempurnakan kelembagaan pembentukan perundang-undangan. Saat ini, fungsi pembentukan regulasi tersebar di berbagai kementerian dan lembaga. Revisi UU No 12 tahun 2011 mengusulkan penyatuan semua fungsi terkait pembentukan regulasi ke dalam satu kementerian atau lembaga. Ketentuan itu dapat menjadi jawaban atas kerumitan manajemen pembentukan peraturan perundang-undangan selama ini.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved