Dosen Sejarah Unand, Zaiyardam Zubir Tampil saat Seminar di Kampus USU Sebut; Ini Medan Bung!
Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Peneliti Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas Padang (PSH-Unand), Dr Zaiyardam Zubir M Hu
Penulis: Emil Mahmud | Editor: Emil Mahmud
Dosen Unand Zaiyardam Zubir Utarakan Pluralistik, Konflik dan integrasi dalam Perspektif Sejarah di Kampus USU
TRIBUNPADANG.COM - Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Peneliti Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas Padang (PSH-Unand), Dr Zaiyardam Zubir M Hum, membuka makalahnya dengan prolog cadas tentang latar belakang masyarakat di Sumatera Utara (Sumut).
“Ini Medan bung,” demikian Zaiyardam saat mengawali prolog makalahnya dalam seminar Nasional” Pluralistik, Konflik Dan Integrasi Dalam Perspektif Sejarah, yang diseleggarakan oleh Jurusan Sejarah FIB Universitas Sumatera Utara (USU), Selasa (27/11/2019) di Medan Sumut.
Kali ini, Zaiyardam Zubir tampil bersama koleganya sesama Dosen Sejarah FIB USU, Dr Ida Liana Tanjung, M Hum serta dimoderatori oleh Prof Drs Pujiati M Soc.Sc. Phd, yang juga dosen dari USU Medan.
Zaiyardam, mengulas ada sebuah ungkapan yang amat terkenal di bumi Nusanatara menyangkut Medan terkait; Ini Medan Bung. Menurutnya, setiap orang yang pernah hidup di Medan memiliki makna sendiri tentang ungkapan.
"Saya pribadi pernah 4 tahun hidup di Medan, juga memiliki makna dan cerita sendiri tentang “ini Medan bung”, ujar Zaiyardam Zubir.
Zaiyardam Zubir menyebutkan bahwa di situ ada sebuah solidaritas sosial yang dia kisahkan begini ceritanya.
"Ketika sahabat saya Suprayitno dan Edy Sumarno, Dosen Jurusan sejarah FIB USU menelepon dan meminta saya bicara tentang Pluralistik, Konflik dan Integrasi Dalam Perspektif Sejarah.
Namun, yang berkelabat di kepala saya adalah sejumlah bayangan di kepala. Bayangan itu awalnya samar, kemudian sedikit demi sedikit semakin jelas dan akhirnya menjadi terang benderang," papar Zaiyardam Zubir menuturkan kembali petikan dari makalahnya kepada TribunPadang.com, Rabu (27/11/2019).
Sejarah Sastra USU di Medan Sumut, dinilainya merupakan dunia luar yang dikenalinya, dunia selain kampungnya di pedalaman Minangkabau atau Sumatera Barat (Sumbar).
"Bukankah di kampus itu yang pertama memperkenalkan kepada saya mengenai kehidupan, pluralistik, konflik
dan integrasi," tegas Zaiyardam Zubir.
Sebelumnya, dia sempat mencoba untuk memikirkan tentang permintaan rekannya untuk membawakan kertas kerja berupa makalah yaitu; konsep Plural, Konflik ataupun Integrasi.
Namun pada saat sama yang muncul ungkap Adam malahan sederet wajah-wajah guru atau dosen ketika menekuni pendidikan strata sati (S1) Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (USU) di Medan tempo dulu.
"Saya terkenang; Pak Daniel Ahmad, Bang F (Nazief Khatib), Bang Fachrudin, Pak Sofyan, Kak Ida, Kak Ita, Kak Yasmis, Kak Dewi, Kak Ratna, Kak Fitri, Bu Ida, Pak Sentosa Tarigan, Bang Saifudin Mahyudin dan Bu Nurhayati Lubis, Pak Kabar Bangun, dan Pak T. Amin Ridwan. Semuanya adalah guru-guru saya yang mendidik saya tentang plural, konflik, integrasi, kehidupan, toleransi dan tentu tentang ilmu
sejarah. Dan, Salam hormat bapak ibu dosen. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa beliau. Aamiin Aamiin Aamiin ya Robbalalamin," ujar Zaiyardam Zubir.
Setelah itu dirinya mengingat semua guru-guru saya itu, muncul bayangan lain sejumlah nama teman-teman satu angkatan Sejarah Fakultas Sastra USU 1981.
Di antaranya; Hendra Mulia (Icen), Suprayitno, Indra, Lisnawati, Arnold Samosir, T. Besler Simamora, Umar Nasova, Sahala Manalu, Hartati, Jonggi Padang, Balkis, Nora Farida Simangunsong, Nur Deliana, Lamhotma Panjaitan, Joni Hutagaol, Ester Dahlia Midian Sitorus, Sitohang, Suprapto, Teti Indriati dan banyak lainnya.
Bayangan lebih lanjut, muncul wajah-wajah adik kelas, kakak kelas dan juga abang-abang dari lain jurusan. Melakoni masa-masa menjadi mahasiswa di USU yang penuh akrab dan kekeluargaan.
"Saya seringkali tidur dirumah sahabat seperti Hendra Mulia, Gustanto, Said Muhammad Sulaiman Paris, Bang Haris Sutan Lubis, Bang Edy Zulfikar, Bang Budi Agustono. Pergaulan yang akrab dengan teman-teman seperti Edy Sumarno, Taufik Lubis, Nita Safitri, Pikarwin, Ibrahim Paudada, Iwan Harahap, Bang Haris St Lubis, Bang Budi Agustono, Fujiati, Rohani, Sukmawati, Nur Hamidah Wati, Bang Iswadi, Bang Edy Zulfikar, Bang Ismet M Noer, Erza Yunandra, Bang Wahyudi, bang Carles Sitorus, Bang Irwansyah, Bang Saifudin Bang Wara Sinuhaji, Bang Bebas Surbekti, Bang Samsul Tarigan, Bang Timbun Ritonga, Bang Lukman Hakim Siregar, Bang Roy Siregar, Bang Husni, Bang Edi, Simson, Kaber, Bahagia Tarigan, Harun, Melva, Yeyen, bang Hanif, Rinaldi, Parlaungan, Kak Emi, Mulyadi, Bang Ali Nur, dan banyak lainnya," papar Zaiyardam Zubir.
Lagi pula, kata Zaiyardam Zubir, dari semuanya hal tersebut baginya menjadi kenangan indah dan tempat untuk memetik pelajaran berharga baginya.
"Sekaitan dari makalah saya (Pluralistik, Konflik dan integrasi dalam Perspektif Sejarah) sebagiannya saya dapatkan selama berinteraksi dengan nama-nama yang disebutkan di atas. Jujur saja, pertama datang dari pedalaman Minangkabau sana, pergaulan antar etnis belum lah akrab dalam keseharian saya," kata Zaiyardam Zubir.
Sesampai di Medan awalnya, dia mendapati berbagai latar belakang etnis dan agama sesuai deretan nama-nama yang tlah disebutkan tadinya. Yakni, mereka mewakili berbagai etnis seprti Melayu, Minangkabau, Jawa, Arab, Batak, Aceh, Karo, Simalungun, Sunda, Mandahiling dan India.
"Dalam hati saya berkata: Inilah sesungguhnya Indonesia dengan berbagai keragaman yang dimilikinya. Walaupun begitu, solidaritas yang kuat sangat dirasakan selama hidup dan bergaul dengan berbagai kelompok dan etnis di Medan," papar Zaiyardam Zubir.
Lantas, Adam memaknai kata damai atau penuh dengan konflik?
"Ada masanya kompak dan ada masanya konflik. Konflik biasanya muncul, ketika terjadi perebutan kekuasaan seperti Senat Mahasiswa. Dalam konflik itu, bisa berjalan keras dan tidak jarang terjadi juga anarkis," jelas Zaiyardam Zubir.
Walaupun demikian, imbuh Adam karena waktu itu perebutan kekuasaan masih dalam skala kecil, benturan-benturan fisik ataupun yang bersifat anarkis tidaklah terlalu besar.
• Buku Terbitan RPP Press KPU Padang, Perempuan Dalam Mimbar Demokrasi Dibincangkan
"Konflik yang ada masih riak-riak kecil, yang dengan mudah dipadamkan. Berbeda jika kekuasaan sudah besar ataupun menyangkut harta dalam jumlah besar, maka baru gejolak itu semakin panas, tinggi dan menelan banyak korban," ujar Zaiyardam Zubir.
Jelas sekali, kata Zaiyardam Zubir bahwa korban itu biasanya menimpa rakyat kecil yang tidak bersalah dan tidak mengetahui tentang perebutan kekuasaan tingkat tinggi.
Dalam seminar sehari itu, Zaiyardam Zubir menilai bahwa forum diskusi kali ini mencerahkan secara keilmuan Sejarah dan baginya momentum romantisisme.
Sebagaimana diungkapnya, momentum untuk mengingat masa lalu, yang terdiri dari kenangan indah, pahit getir, suka duka dan lain sebagainya guna bekal menatap masa depan yang lebih baik.(*)