Berita Sumbar Hari Ini
BPCB Paparkan Arca Makara yang Ditemukan di Sungai Sibinail Rao Selatan Pasaman
Warga di Desa Padang Nunang Rao Selatan, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (Sumbar), sempat heboh menyusul penemuan sebuah arca pada,
Penulis: Rizka Desri Yusfita | Editor: Emil Mahmud
BPCB: Makara yang Ditemukan di Sungai Sibinail Rao Selatan Pasaman Berbentuk Gaja-Mina
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Warga di Desa Padang Nunang Rao Selatan, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (Sumbar), sempat heboh menyusul penemuan sebuah arca pada, Jumat (27/9/2019) sekitar pukul 16.00 WIB lalu.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, Nurmatias mengatakan arca tersebut ditemukan oleh pemuda setempat bernama Ipal dan Aad di Sungai Sibinail.
Menurutnya, temuan itu bermula saat Ipal dan Aad pergi ke Sungai Sibinail untuk menangkap ikan (menjamah) di sela-sela batu besar.
"Ketika itu, mereka tertarik dengan bentuk batu yang tidak biasa, ketika di dekati benar saja permukaan batu seperti memiliki ukiran.
Akhirnya mereka berinisiatif untuk mengangkat arca, yang dari posisi berguling menjadi posisi berdiri," ungkap Nurmatias kepada wartawan, Senin (30/9/2019).
Nurmatias menjelaskan, Sabtu pagi, akhirnya warga memutuskan untuk membawa arca tersebut ke perkampungan.
Menurut Nurmatias, temuan peninggalan dari masa Hindu-Buddha di Kabupaten Pasaman sangat wajar.
Hal tersebut didasarkan pada temuan-temuan baik berupa candi (Candi Tanjung Medan, Candi Koto Rao, Candi Pancahan, Candi Patani, Candi Tanjung Bariang), temuan arca, prasasti (Prasasti Ganggo Hilia, Prasasti Lubuk Layang (Kubu Sutan), dan temuan lainnya yang berasal dari masa Hindu-Buddha dari abad ke 13 hingga 14 Masehi.
"Temuan yang ditemukan di Sungai Sibinail tersebut membuat masyarakat sekitar bertanya-tanya berkaitan dengan jenis temuan dan umur.
Ada yang mengatakan temuan patung Hindu, kemudian adapula yang mengatakan dari masa Prasejarah. Namun, dalam ilmu arkeologi temuan ini dapat dikatakan sebagai makara," jelas Nurmatias.
Secara umum, kata Nurmatias, arca makara dapat diartikan sebagai salah satu unsur bangunan candi yang biasanya berpasangan dengan kala yang berwujud makhluk mitologi.
Adapun wujudnya, merupakan kombinasi dua ekor binatang yaitu kombinasi ikan dengan gajah (gaja-mina) dengan variasi tertentu yang digambarkan dengan mulut terbuka lebar.
"Berdasarkan data yang telah berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber, dapat dideskripsikan bahwa makara yang ditemukan di Sungai Sibinail merupakan makara berbentuk gaja-mina (kombinasi ikan dengan gajah)," sebut Nurmatias.
Dia menjelaskan, dari hasil observasi tim di lapangan, makara tersebut terbuat dari bahan sandstone (batu pasir) dengan tinggi 95 cm dan lingkar 177 cm.
Dari morfologi, makara tersebut berbentuk kepala binatang dengan mulut terbuka lebar.
Pada bagian samping digambarkan lengkungan belalai (gajah) yang dihiasi motif flora, bagian atas bulat membentuk ukel ke bawah.
"Penggambaran mata terkesan mata sipit dan telinga melengkung menyerupai kipas," sambung Nurmatias.
• POPULER SUMBAR - 10 Tahun Mengenang Gempa 30 September 2009| Ditemukan Pasaman Arca Makara
• Heboh Penemuan Patung Candi Di Pasaman, Diduga Arca Makara Peninggalan Zaman Hindu-Budha
• 6 Fakta Penemuan Patung Purbakala di Pasaman, Diduga Arca Makara, Ada Kaitan dengan Sriwijaya?
Dia menambahkan, di atas makhluk yang berada di dalam mulut dipahatkan bentuk bunga dan benangsari.
Pada sisi kiri dan kanan, terdapat beberapa motif hias sulur-suluran berbentuk lingkaran menyerupai kipas.
Pada bagian dalam mulutnya, terlihat pengambaran figur manusia yang sedang memegang senjata di tangan kanan dan perisai di tangan kiri dan posisi berdiri.
"Dari temuan makara tersebut, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa temuan makara merupakan tinggalan dari masa Hindu-Buddha yang diperkirakan berasal dari abad ke 13 hingga 14 Masehi," jelas Nurmatias.
Hal tersebut, kata dia, didukung oleh data Prasasti Lubuk Layang (Kubu Sutan) yang ditemukan Tahun 1970-an.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, isi dari prasasti tersebut adalah penyebutan Bijayawarmma, seorang yauwasuta Jayendrawarmma, moksam, yauwaraja Bijayendrasekhara, pitamahadara dan Śrī Indrakilaparwatapuri.
Prasasti tersebut dibuat untuk memperingati pembinaan kuil pemujaan nenek moyang dari raja yang memerintah, yaitu Bijayawarmma.
"Terdapat seorang yuwaraja (Raja muda) yang bernama Jayendrawarnan, beliau di gambarkan memiliki sifat selayaknya dewa/buddha," kata Nurmatias.
Menelisik pada temuan sebelumnya, temuan arca dwarapala dan makara menunjukkan adanya keterkaitan. Karena pada umumnya, arca dwarapala dan makara ditempatkan pada bagian depan candi, tepatnya di sisi kanan dan kiri bangunan candi.
Dikatakan Nurmatias, bangunan candi yang terdapat di Pasaman khususnya di Rao diperkirakan berlatar agama Buddha aliran-aliran Tantrayana.
Tantrayana adalah salah satu sekte dalam agama buddha yang berkembang di Sumatera khususnya pada masa Adityawarman.
Arca Dwarapala ditempatkan di depan bangunan candi sebagai area penjaga, ditunjukkan dengan ciri-ciri peralatan yang dipegang oleh tangan kanannya yaitu sebuah gada, adapun laksana di tangan kirinya tidak diketahui karena sudah aus.
Di bahu area tersebut juga terdapat upawita (tali kasta) berupa seekor ular. Laksana yang dipakai adalah sesuatu yang menyeramkan mengingat fungsi area tersebut sebagai area penjaga agar bangunan suci terhindar dari unsur-unsur yang tidak dikehendaki.
Di bagian atas makara biasanya berasosiasi dengan kala yang diletakkan pada bagian atas pintu masuk bangunan candi.
Menurut Nurmatias, Kala-makara merupakan simbolisasi dari persatuan dari penguasa gunung (kala) dan laut (makara).
"Menelisik lebih jauh bahwa penggambaran figur manusia untuk mulut makara banyak ditemukan pada makara-makara candi Masa Sriwijaya, tetapi jenisnya berbeda-beda ada yang berbentuk figur prajurit (Padang Lawas, Padang Nunang), figur penjaga (candi Solok Sipin), da figur resi (makara candi di Bumiayu)," jelas Nurmatias .
Temuan figur prajurit dengan membawa senjata dan perisai, kata dia, juga ditemukan di makara-makara di Percandian Padang Lawas, figur penjaga yang memegang gada ditemukan di Candi Solok Sipin.
Namun menurutnya, dari data awal tersebut, dirasa masih perlu dilakukan pelindungan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Kebudayaan mempunyai tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan serta fasilitasi pelestarian Cagar Budaya di wilayah kerjanya yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (Kepri).
Kemudian, merujuk pula pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam Pasal 23 ayat 3 bahwa instansi yang berwenang di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap temuan didasarkan pada laporan baik laporan dari instansi kebudayaan di Pasaman dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini Kapolres Pasaman, dan instansi terkat lainnya.
Pengkajian yang dimaksud diawali dengan bentuk kegiatan penjajakan atau survei penyelamatan.
Survei penyelamatan sesuai dengan Pasal 58 ayat 1 bahwa Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk (a) mengecegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan (b) mencegah pemindahan dan beralihanya kepemilikan dan/atau penguasa Cagar Budaya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berpijak dari hal tersebut, BPCB Sumatera Barat akan melakukan penjajakan dan survei untuk mengumpulkan seluruh data baik mengenai riwayat penemuan, identitas penemu, data arkeologis, dan data teknis lainnya.
"Dari data yang dikumpulkan dari penjajakan dan survei penyelamatan nantinya akan dijadikan sebagai acuan dan landasan dalam melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan temuan makara di Padang Nunang tersebut di masa yang akan datang dengan selalu berlandaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya," jelas Nurmatias. (*)