Artikel
Dharmasraya Menuju Era Baru, Bertekad untuk Mengulang Kejayaan Masa Lalu
SECARA administratif pada 7 Januari 2020, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) tepat menginjak usia ke-16 tahun.
Penulis: Emil Mahmud | Editor: Emil Mahmud
Secara khusus merawat keberagaman sekaligus mengakhiri rasisme, kesukuan tapi membangun persatuan Indonesia berbalut Bhinneka Tunggal Ika.
Adalah Wenri Wanhar, seorang sejarawan muda asal Minangkabau mengungkapkan bahwa Kerajaan Singosari tidak pernah menaklukkan Kerajaan Dharmasraya.
Mengutip paparannya saat tampi sebagai pembicara saat peluncuran Festival Pamalayu yang diadakan di Museum Nasional Jakarta pada Kamis 22 Agustus 2019.
Menurutnya, semula ada sebagian yang beranggapan bahwa Kerajaan Dharmasraya telah ditaklukkan oleh Kerajaan Singosari, yang dianggap telah keliru.
Kekeliruan itu menurut Wenri terjadi, karena masyarakat berpatokan kepada narasi yang ditulis oleh sejarawan zaman kolonial dan para pengikutnya.
Wenri mengatakan bahwa Meseum Nasional yang sekarang, pada masa lalu adalah kantor Bataviaasch Genootchaap, tempat berkumpulnya para ilmuwan kolonial.
Pada suatu masa menurutnya, para-ilmuwan kolonial itu datang ke Sumatera untuk melihat reruntuhan Kerajaan Dharmasraya.
Pada 1880 para ilmuan tersebut mendapati sebuah arca yang dinamakan Amoghapassa di Rambahan di Bukik Baralo, -- tepian tebing Batanghari -- yang kini oleh masyarakat setempat disebut Lubuak Bulang.
Selanjutnya pada 1911, giliran lapik batu alas Amoghapassa ditemukan persisnya di Lulua’an, Sungai Lansek, Padang Roco.
Lantaran ditemukan di Padang Roco, para ilmuwan itu memberinya nama Prasasti Padang Roco.
Yang mana kedua peninggalan itu dibawa ke Museum Nasional saat ini.
Selain itu, dari tepian hulu Batanghari, di antara reruntuhan Kerajaan Dharmasraya juga ditemukan satu arca lagi.
Tepatnya pada Tahun 1935, ilmuwan kolonial mendapati Bhairawa.
"Karena paling besar, ia dijuluki Raja Arca Museum Nasional ini," jelas Wenri.
Wenri menilai kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada sejarah yang dibuat ilmuan-ilmuan kolonial itu terjadi karena keterbatasan pengetahuan, serta sudut pandang melihatnya.