Kabar Tokoh
Profil Dokter Terawan yang Dikirim Jokowi untuk Pantau Ani Yudhoyono, Punya Metode 'Cuci Otak'
Istana kepresidenan telah mengirimkan Mayor Jenderal TNI Dr dr Terawan Agus Putranto SpRad (K) RI untuk memantau perkembangan kesehatan Ani Yudhoyono
Tapi ketika rasa pening kepala semakin sering timbul, saya mulai berpikir tentang sebab lain. Jangan-jangan ada penyumbatan pembuluh darah otak. Yang mencemaskan adalah kalau ada perdarahan yang berujung pada stroke.

Masuk ke lorong magnetik
Dari media saya tahu informasi tentang dokter Terawan. Nama itu melambung setelah menangani derita stroke Benny Panjaitan dengan metode yang oleh orang awam disebut “cuci otak”.
Seorang petinggi partai, pejabat pemerintahan dan istrinya, juga anggota parlemen tercatat pernah menjalani prosedur itu.
Saya juga mendengar bahwa seorang mantan menteri sembuh dari stroke yang menyerangnya di pagi hari karena segera ditangani dr. Terawan. Istri seorang pejabat pemerintah daerah yang tiba-tiba ambruk karena selalu menjadi sasaran kemarahan suaminya, juga pulih.
Di luar mereka, tentu sangat banyak orang lagi. Seorang petugas di Sub-bagian Radiologi Instalasi Radionuklir yang dikepalai dr. Terawan memberi gambaran, minimal pasien lima orang perhari, dan itu berlangsung Senin hingga Jumat, 2007.
Langkah pertama setelah saya mendaftar adalah mencari jadwal Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendapat gambaran kondisi otak dan pembuluh-pembuluh darahnya. Saya mendapat jadwal dua hari kemudian.
Pemindai magnetik itu terbilang paling canggih di Indonesia karena selain diameter lorongnya 75 cm (pemindai di RS lain hanya 60 cm), juga tidak memerlukan cairan kontras yang disuntikkan ke badan pasien untuk melihat perfusi.
Untuk pertama kalinya saya masuk ke lorong di tengah lingkaran berdaya magnetik tinggi itu – karenanya saya harus menanggalkan semua materi logam dari badan.
Kepala tidak boleh bergerak. Kedua telinga dipasangi earphone yang memperdengarkan lagu dalam volume tinggi meski sesekali kalah keras oleh pemindaian yang mengeluarkan aneka bunyi – seperti suara palu, tanda alarm, bunyi mesin, dsb.
Saya tidak mau gagal mendapat hasil lengkap pemindaian otak, lagi pula saya bukan pengidap klaustrofobia (fobia ruang sempit). Saya yakin bahwa MRI, alat temuan Paul Lauterbur dan Sir Peter Mansfield yang membuahkan Hadiah Nobel Kedokteran tahun 2003 bagi keduanya, itu adalah langkah akurat bagi diagnosis otak saya.
Tiga puluh menit berlalu dan operator mengeluarkan saya dari mesin sempit di ruangan dingin itu.
Sambil menunggu hasilnya, saya menjalani tes darah dan urine. Juga EKG dan foto Rontgen. Tak lama kemudian saya dibawa ke ruangan Kolonel CKM dr. Tugas Ratmono, Sp.S., ahli neurologi anggota tim dr. Terawan.
Menjalani tes keseimbangan dan mendapat penjelasan dari foto otak saya. Otak kiri dan kanan masih seimbang, proses aliran darah masuk (arteri) juga lancar namun arus baliknya (vena) ada hambatan.
“Ini biasa terjadi pada bangsa Asia,” kata dr. Tugas. Pada otak saya, tidak ada kelainan kimiawi meski sistem kelistrikan ada hambatan.