Oleh: Lemylia, Penulis Mahasiswa Internship UKM-FIB Unand yang magang di TribunPadang.com
KENDATI Malaysia dan Indonesia memiliki akar bahasa yang sama, yaitu Bahasa Melayu, namun terdapat banyak kata yang memiliki makna berbeda, meskipun sebutan dan ejaannya serupa.
Hal ini sering menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi, terutama saat warga dari kedua negara bertemu dalam konteks pendidikan, pariwisata, atau bisnis.
Dosen Linguistik Melayu dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Dr Fatimah Roslan menjelaskan bahwa fenomena ini bukanlah hal yang luar biasa.
“Bahasa mencerminkan budaya. Dalam masyarakat yang berbeda, meskipun serumpun, makna suatu kata bisa berubah sesuai dengan konteks sosial dan sejarah lokal,” jelas Fatimah.
Fatimah juga menekankan pentingnya bagi pelajar dan wisatawan untuk memahami perbedaan ini agar terhindar dari kesalahpahaman atau insiden yang tidak diinginkan.
Empat contoh kata yang sering menimbulkan kebingungan adalah gampang, percuma, butuh, dan senang.
Gampang: Mudah di Sana, Kasar di Sini
Di Indonesia, khususnya di Padang, kata “gampang” merupakan kata yang umum dan sopan, digunakan untuk menyatakan sesuatu yang mudah dilakukan. Misalnya: “Soal itu gampang saja, saya bisa bantu.”
Namun, di Malaysia, kata yang sama dianggap sebagai slanga kasar atau tidak senonoh, dan tidak layak digunakan baik dalam situasi formal maupun kasual. Banyak warga Malaysia akan merasa tersinggung ketika mendengar kata tersebut karena konotasinya yang negatif.
Percuma: Tidak Selalu Berarti Gratis
Bagi masyarakat Malaysia, kata “percuma” berarti sesuatu yang diberikan tanpa biaya. Misalnya, “Makanan disediakan secara percuma.”
Sebaliknya, di Indonesia, kata ini lebih sering digunakan dalam konteks “sia-sia” atau “tidak ada gunanya.” Jika seseorang berkata, “Semua usaha itu percuma,” artinya usaha tersebut tidak berhasil atau sia-sia.
Untuk menyatakan sesuatu yang gratis, masyarakat Indonesia lebih terbiasa menggunakan kata “gratis.”
Butuh: Perlu atau Tidak Sopan?