Gubernur Sumbar Dilaporkan ke Ombudsman soal Izin PBPH PT SPS di Pulau Sipora Mentawai

Penulis: Muhammad Afdal Afrianto
Editor: Rahmadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

GUBERNUR DILAPORKAN - Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar, Imran Amirullah saat diwawancarai TribunPadang.com di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Selasa (24/6/2025). Imran mengatakan laporan yang ia buat di Ombudsman berkaitan dengan rekomendasi yang diberikan Gubernur Mahyeldi hingga terbitnya izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk PT SPS.

TRIBUNPADANG.COM, PADANG – Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) melaporkan Gubernur Sumbar Mahyeldi ke Ombudsman RI Perwakilan Sumbar atas dugaan maladministrasi terkait pemberian izin kepada PT Sumber Permata Sipora (SPS).

Salah satu perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar, Imran Amirullah, mengatakan laporan tersebut berkaitan dengan rekomendasi yang diberikan Gubernur Mahyeldi hingga terbitnya izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk PT SPS.

"Kami menduga, rekomendasi yang diberikan Gubernur menjadi dasar terbitnya izin PBPH tersebut. Atas dasar itu, kami menilai Gubernur telah menyalahgunakan wewenangnya," ujar Imran Amirullah saat ditemui TribunPadang.com di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Selasa (24/6/2025).

Ia menyebut, penyalahgunaan wewenang tersebut merupakan bentuk maladministrasi.

"Karena ada dugaan penyalahgunaan wewenang, maka kami melaporkannya ke Ombudsman. Ini bentuk dari dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur Mahyeldi," jelasnya.

Baca juga: Tirai Sandiwara Sang Calon Mantu yang Jadi Dalang Pembunuhan Berantai di Padang Pariaman

Selain Gubernur, Koalisi Masyarakat Sipil juga melaporkan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar serta PT SPS.

"Laporan kami ke Ombudsman juga mencakup Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar dan pihak PT SPS, yang semuanya berkaitan dengan persoalan PBPH ini," imbuhnya.

Imran berharap laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI Perwakilan Sumbar.

"Kami berharap laporan ini bisa dikaji secara mendalam dan segera ditindaklanjuti, karena ini menyangkut dampak lingkungan yang besar, baik bagi manusia maupun hewan endemik di Kepulauan Mentawai. Alam Mentawai masih asri dan harus dijaga kelestariannya," pungkas Imran.

Sebelumnya diberitakan, Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar juga mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Menteri Investasi untuk segera membatalkan izin Persetujuan Komitmen PBPH seluas 20.706 hektare di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang diberikan kepada PT SPS.

Baca juga: Beri Dukungan Penuh, Bupati Dharmasraya Lepas Dua Putra-Putri Ikuti Seleksi Nasional Paskibraka 2025

Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup WALHI Sumbar, Tommy Adam, menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak lingkungan dari proyek tersebut.

"Jika izin PBPH seluas 20.706 hektare ini tetap dijalankan, akan memperparah kerusakan hutan dan mempercepat laju deforestasi di Mentawai. Ini bisa memicu bencana ekologis besar seperti banjir bandang," kata Tommy kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).

Ia menambahkan, kondisi hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Sipora saat ini sudah mengkhawatirkan. Hal ini dibuktikan dengan kejadian banjir dan longsor yang terjadi pada Selasa (10/6/2025), yang membuat pemerintah daerah menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari.

"Jika aktivitas ini terus dilanjutkan, risiko banjir akan semakin parah. Selain itu, akan terjadi krisis air karena hutan sebagai cadangan air akan hilang akibat pembabatan pohon," jelasnya.

Tommy menilai izin yang diberikan kepada PT SPS cacat secara prosedural, substansial, dan administratif. Ia juga menegaskan bahwa izin tersebut mengancam kelestarian lingkungan serta hak hidup masyarakat adat.

Baca juga: Kembangkan Wisata Gunung Kerinci, Pemkab Solsel Teken Perjanjian Hibah dengan Balai Besar TNKS

“Izin PT SPS ini harus dibatalkan. Ini bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tetapi juga pelanggaran atas hak masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam,” tegasnya.

Ia juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menegakkan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Undang-undang tersebut menekankan bahwa pulau-pulau kecil seperti Sipora seharusnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, riset, pariwisata berkelanjutan, dan ketahanan pangan lokal, bukan untuk eksploitasi besar-besaran,” ujarnya.

Koalisi juga mendesak Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar untuk menyatakan bahwa rencana usaha PT SPS tidak layak lingkungan, serta meminta Komisi Penilai AMDAL Pusat agar tidak menerbitkan persetujuan lingkungan untuk proyek PBPH tersebut.

"Kami menolak dokumen AMDAL PT SPS karena disusun tanpa partisipasi publik, tidak berbasis data primer, banyak kekeliruan teknis, dan mengabaikan aspek penting seperti keanekaragaman hayati, potensi bencana, dampak sosial ekonomi, serta hak masyarakat adat,” tuturnya.

Baca juga: Penuh Haru dan Bahagia, Bupati Dharmasraya Annisa Serahkan SK CPNS dan Pengambilan Sumpah PPPK 2024

Tommy menegaskan bahwa masyarakat sipil Sumbar menolak segala bentuk penebangan hutan alam di Pulau Sipora, karena dinilai memperparah krisis ekologis dan meningkatkan risiko bencana.

"Selain itu, eksploitasi ini juga mengancam keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal, terutama perempuan pembudidaya pangan lokal seperti 'toek'," tutupnya.(*)

Berita Terkini