TRIBUNPADANG.COM, TANAH DATAR - Semua telah pergi, Fitnelfiendra harus menata lagi, rumah, kakak hingga suami, hanyut bersama Banjir Lahar Dingin Gunung Marapi.
Di sisa puing rumah yang sudah habis terbawa banjir di Limo Kaum, Tanah Datar, Sumatera Barat. Ia dan anak gadisnya menunggui matahari pergi.
Di bawah tenda bermerek TNI AD, Pipit (sapaan akrabnya) selalu menunggu uluran tangan masyarakat luas.
Bersama terik yang asing, tanpa atap rumah permanen yang ia tinggali selama puluhan tahun lalu.
Pipit menunggu kedatangan para relawan menyusuri puing bangunan yang sudah rata dengan tanah.
Ada pakaian, sembako dan peralatan tidur, yang datang bergantian, setiap hari menghampirinya dari para relawan.
Uluran tangan yang selalu menghadirkan senyum cerah dari air muka Pipit dan korban lainnya.
"Baik bantuan materi, tenaga atau sekedar mendengarkan cerita saja. Saya sudah merasa sangat senang dengan kehadiran mereka (relawan)," ujar Pipit menebar senyum ke arah para relawan yang menyapanya.
Banjir Lahar Dingin Hanyutkan Rumah Pipit
Sewaktu menyambut kedatangan para relawan, Pipit coba kembali lagi pada ingatannya di malam banjir lahar dingin terjadi, Sabtu (20/5/2024).
Saat sore hari (Sabtu) kondisi cuaca di Manunggal, Limo Kaum, hujan intensitas ringan berlangsung, tidak lama.
Saat malam kondisi cuaca sangat bersahabat, Pipit baru sekira pukul 21.00 WIB masuk ke rumah, hendak istirahat.
Kebetulan malam itu ia sendirian, suaminya tidur di rumah mertua Pipit. Anaknya satu kuliah di Kota Padang dan satu bekerja di Pekanbaru.
Malam itu, seperti malam biasanya tidak ada yang berbeda. Di ruang tv Pipit duduk santai sambil berselancar dalam sosial media.
Hampir satu jam, ia memantau informasi terbaru di telepon genggamnya, terdengar suara air bergemuruh.
Air itu coklat pekat, menghantam rumahnya yang berjarak puluhan meter dari bantaran sungai sedalam belasan meter.
Pipit kelabakan, sigap mencari pintu rumah, memulai langkah panik dengan kencang ke belakang rumah.
Langkahnya panjang, di gelap malam saat lampu sudah padam, bersama menantunya, Pipit menyusuri ingatannya mengingat gambaran jalan untuk menyelamatkan diri.
Bersama doa dan teriakan Allahuakbar, ia dan menantunya selamat dari hempasan pohon tujuh meteran yang roboh karena banjir lahar dingin.
Tidak hanya pohon itu yang membuatnya cemas, rumah kakaknya berjarak 10 meteran dari rumahnya juga hanyut bersama pohon itu.
Material rumah kakaknya turut menghanyutkan rumah Pipit dan rumah menantunya.
"Saya melihatnya habis terbawa air, tapi kondisi air yang sangat besar. Saya tidak berani untuk kembali ke sana. Saya hanya berharap kakak saya selamat," ujarnya.
Bersama warga, Pipit sempat dievakuasi dengan mobil Pick-Up ke tempat lebih aman. Sekitar satu jam pula ia disana.
Rasa cemas menghampiri dirinya, meski sudah berdoa dengan sekuat tenaga, bagaimana kondisi kakaknya masih menjadi beban bagi Pipit.
Di sana ia menangis mengingat rumah kakaknya hanyut, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Pipit yakin sekali saat kejadian kakaknya sedang tertidur pulas, mengingat kebiasaan kakaknya yang setiap pukul 22.00 WIB sudah naik ke kasur untuk istirahat.
Benar saja, selang beberapa jam beberapa warga yang sudah melihat kembali lokasi kejadian, mengabari Pipit, bahwa kakaknya ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa .
Meski sudah mendapatkan kabar kakaknya meninggal Pipit masih belum percaya, bahwa malam itu malam terakhirnya bercanda dengan kakaknya.
Tidak hanya kondisi kakaknya yang membenai Pipit, kabar suaminya yang belum kunjung ada juga menghantui perasaannya.
"Tapi saya coba yakin saja kalau suami saya masih baik-baik saja. Jadi saya putuskan untuk melihat kakak saya dulu ke rumah sakit," ujarnya.
Di rumah sakit Pipit mendapati bahwa memang kakaknya sudah meninggal, kondisi tubuhnya sudah dipenuhi lumpur sampai ke mulut, serta luka kebab dan luka gores.
Sampai pukul 04.00 WIB, Pipit masih di rumah sakit bersedih bersama semua ingatan tentang kakaknya selama hidup.
Baru sekira pukul 06.00 WIB jenazah kakak Pipit dibawa pulang untuk proses pemakaman.
Tidak Hanya Kakak, Suami Pipit Juga Hanyut Terbawa Banjir
Belum juga rasa sedihnya usai, di tengah prosesi pemakaman kakaknya sedang berlangsung, ia kembali mendapat telfon dari adik suaminya.
Adiknya memastikan bahwa suami Pipit tidak ada informasi sampai pukul 08.00 WIB, kendaraan yang terakhir ia gunakan juga tidak terlihat.
"Waktu itu saya sudah berprasangka buruk, kalau suami saya sudah meninggal. Saya coba tenang, saya bilang ke adik untuk terus menghubunginya," jelasnya.
Belum selesai pemakaman kakaknya, kabar duka kembali menyelimuti Pipit, kali ini suaminya yang ditemukan meninggal.
Suami Pipit pada saat kejadian tidak berada di rumah, ia tidur di rumah mertua Pipit.
Sejak kejadian banjir lahar dingin Pipit memang tidak mendapat informasi lagi tentang suaminya.
Kakaknya yang hanyut menjadi prioritas Pipit, ia percaya bahwa tidak mungkin yang maha kuasa merenggut dua orang tercintanya sekaligus dalam waktu bersamaan.
"Saya tidak menyangka, saya merasa kehilangan semuanya. Suami, kakak, rumah dan seluruh mata pencarian," ujarnya mengusap mata dengan jilbabnya.
Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Tidak mau berlarut-larut, Pipit harus tetap tegar, ada satu anak gadisnya yang harus ia besarkan dan biayai.
Anak gadis yang menguatkannya dikala badai besar menghantamnya, meski berstatus ibu, sekarang Pipit harus memiliki sosok ayah untuk anaknya.
Pipit berharap ada bantuan dari pemerintah atau relawan, ia ingin kembali menata usaha pabrik kerupuknya.
Pabrik kerupuk yang sudah habis disapu banjir lahar dingin, bersama rumah dan orang tercintanya.
"Kalau bisa ada bantuan finansial, saya ingin bangun usaha saya lagi. Supaya anak gadis saya bisa menamatkan kuliahnya," ujar Pipit.
Ia mengaku sangat bahagia dengan kepedulian masyarakat sejauh ini melalui bantuan sembako, pakaian dan lainnya.
Hanya saja, bantuan tersebut menurutnya tidak bersifat permanen.
"Kalau ibaratnya mancing, sekarang kami butuh kail. Bukan ikan lagi," tuturnya.
_____
Baca berita terbaru di Saluran TribunPadang.com dan Google News