“Sekitar tahun 2000 an saya bekerja mengangkut kayu ilegal logging, selama tiga tahun lamanya saya bekerja seperti itu,” kenang Ahmadi.
Tahun 2000 an tersebut menurut Ahmadi masih banyak cukong-cukong kayu, sehingga bisa memilih dimana ingin bekerja dengan upah yang besar.
Ahmadi menceritakan upah yang diterimanya saat itu ada Rp 25 ribu per potong kayu yang dibawanya ke luar hutan. Upah tersebut langsung dibayar cukong jika pekerjaan telah selesai.
Seiring berjalannya waktu, Ahmadi merasa tidak ada perubahan ekonomi kehidupannya dengan bekerja sebagai pengangkut kayu illegal logging tersebut. Malahan Ahmadi merasa bersalah terhadap diri dan lingkungannya. Sebab secara tidak langsung dia sudah menjadi bagian dari pelaku ilegal logging yang merusak kelestarian hutan.
Sadar akan pekerjaannya yang salah, Ahmadi mulai berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari berladang palawija, perlahan Ahmadi mengumpulkan uang dari hasil ladangnya dan bergabung dalam kelompok tani hingga akhirnya memiliki ladang seluas dua hektar.
Ahmadi merasa hidupnya lebih tenang dengan berladang dan perekonomian keluarganya lebih baik daripada saat ia menjadi penyedia jasa pengakut kayu ilegal logging.
Ahmadi juga mulai mengajak para warga lain untuk berladang agar tidak bekerja sebagai penyedia jasa untuk membantu pembalakan liar di hutan TNKS. Ajakan tersebut dilakukannya dari satu warga ke warga lainnya.
“Hutan ini sumber kehidupan, kalau dirusak tentu akan berdampak kepada hidup kita juga. Makanya kita harus jaga hutan,” kata Ahmadi yang memiliki tiga orang anak ini.
Ahmadi juga tak memungkiri hingga saat ini masih ada pembalakan liar yang terjadi di kawasan hutan di daerah Tapan. Hal itu biasanya terjadi tak terlepas dari permasalahan ekonomi dan susahnya bagi warga untuk mencari pekerjaan lain.
“Pasti berawal dari masalah ekonomi makanya mau bekerja seperti itu,” sebut Ahmadi.
Hal tersebut terlihat beberapa waktu lalu ketika penulis mengunjungi hutan kawasan TNKS di Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan nampak masih ada tersisa aktivitas pembalakan liar seperti potongan-potongan kayu yang ditinggal begitu saja di tengah hutan oleh pelaku ilegal logging.
Potongan kayu ini lumayan berukuran besar hal itu terlihat dari pohon yang ditebang yang mana ukuran diameternya yang luas. Lalu juga tampak di jalan tanah yang dilewati ada bekas kayu yang ditarik ke luar hutan.
Saat ini Ahmadi menjalani kehidupannya selain berladang, ia juga membuka warung di depan rumahnya menjual makanan yang dibantu istrinya. Dari sanalah Ahmadi sekeluarga mendapatkan tambahan biaya kebutuhan sehari-hari dan juga biaya untuk sekolah bagi anak-anaknya.
Sementara itu Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah II Sumbar, Ahmad Darwis menyebutkan luas wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) secara keseluruhan mencapai 1,5 juta Ha yang meliputi 4 provinsi, yakni Jambi, Sumbar, Sumsel dan Bengkulu. Untuk wilayah Sumatera barat memiliki luas 358.000 ha yang tersebar di empat kabupaten Pesisir Selatan, Solok Selatan, Solok, Dharmasraya.
Ahmad Darwis melanjutkan ada beberapa masyarakat yang sudah melakukan keterlanjuran aktivitas di dalam kawasan TNKS.