TRIBUNPADANG.COM, PARIAMAN - "Rencana saya ingin istirahat dulu membuat batik sampan, tapi kalau ada yang mau belajar, saya selalu siap membantu," terang Dewi Sartika, pengrajin Batik Sampain Terakhir di Dusun Sampan, Desa Punggung Ladiang, Kota Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar).
Kalimat itu terlontar dari perempuan berusia 36 tahun silam tersebut, setelah malang melintang jadi pembatik selama 15 tahun.
Ibu dua anak itu, mulai belajar batik sampan sejak tahun 2007. Saat itu Dewi masih remaja, ia diajak oleh Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kota Pariaman, merupakan tetangganya.
"Jadi Kadis itu yang awalnya menawarkan belajar batik, alasannya agar batik sampan di Dusun Sampan kembali menggeliat," jelas Dewi mengenang masa itu.
Misi mulia Kadis, ternyata berjalan baik. Dewi yang baru menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA), setuju. Ia bersama lima orang pemuda sampan ikut pelatihan selama satu bulan di Kota Padang.
Baca juga: Ciri Khas Batik Sampan Asli dari Dusun Sampan Kota Pariaman
Dari lima warga Dusun Sampan itu, hanya Dewi seorang yang masih berkiprah. Rasa penasaran membuatnya jauh lebih cakap dari para koleganya di pelatihan.
Usai pelatihan, Dewi remaja, sering nyinyir pada orang tua batik di daerah tersebut. Mendapat perilaku sinis atas tingkahnya, Dewi tidak peduli, selagi bisa menggali ilmu membuat batik sampan.
Perempuan yang bercita jadi wanita karier itu mengaku, sewaktu pelatihan lumayan bisa mengerjakan batik sampan. Namun, saat melakukannya sendiri kegagalan sering datang.
Tapi ia tidak menyerah, ragam pelatihan terus ia jajal hingga tahun 2009, supaya bisa membatik dan meneruskan batik sampan di Dusun Sampan.
Hanya saja, ragam pelatihan itu tidak membawakan hasil. Karya batik Dewi masih jauh dari kata bagus, koleganya yang satu pelatihan sudah banyak mundur. Dewi masih bertahan, perlahan ilmu itu ia asah sembari bekerja lainnya.
Baca juga: Sepenggal Cerita Sejarah Batik Sampan di Dusun Sampan Kota Pariaman
Pada tahun 2011 saat Dewi menikah, dunia batik hampir total ia tinggalkan, kehidupannya sudah berkutat di rumah dan mengurus keluarga.
"Awal berkeluarga saya masih sulit membagi waktu, sehingga tidak bisa membatik," terang ibu rumah tangga itu.
Kendati demikian hasratnya untuk tetap menjaga batik sampan masih ada. Hanya saja ia tidak bisa sendirian, ia butuh tim untuk merawat batik sampan di Dusun Sampan.
Sepenggal Sejarah Batik Sampan di Dusun Sampan
Karya batik dari Dusun Sampan ini, sejatinya sudah banyak dikenal masyarakat Sumbar bahkan tingkat nasional.
Hanya saja banyak masyarakat tidak tahu asal usul penamaan batik tersebut. Apakah benar hanya persoalan geografis atau memang ada ciri khasnya.
Baca juga: Perjuangan Dewi Sartika Lestarikan Batik Sampan Khas Kota Pariaman
Pembatik sampan yang tersisa di Dusun Sampan, Dewi Sartika. Mengaku tidak mengetahui banyak sejarah batik ini. Beberapa sejarah batik yang ia tahu berasal dari rasa penasarannya.
Rasa ingin tahu Dewi pada batik sampan di Dusun Sampan, membuatnya mendapat sepenggal cerita sejarah yang terabaikan dari batik itu
Sepengetahuannya batik sampan di Dusun Sampan, sangat eksis pada tahun 1950-1960an. Eksistensi batik itu muncul karena sumber daya manusia dan sumber daya alam yang mendukung.
Pada sumber daya manusia, banyak masyarakat sampan menyukai pekerjaan yang sangat teliti ini. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat daerah itu inovatif dan kreatif.
Mereka berhasil membuat peralatan batik seadanya, mulai dari tulis hingga batik cap. Semuanya mereka hadirkan untuk membatik.
Dalam proses pengerjaan batik, mereka juga memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk mewarnai dan mencuci batik.
Bahan dasar warna itu berasal dari buah dan tumbuhan. Sedangkan untuk pencucian, masyarakat memanfaatkan Batang/Sungai Mangoi dengan membuat kolam di pinggirnya.
"Jadi tidak hanya memproduksi, pemasaran batik sampan ini juga dilakukan di Dusun Sampan. Karena di sini dulu ada pasar yang cukup ramai," terang Dewi merangkum cerita dari pendahulunya tentang batik sampan.
Hanya saja waktu Dewi lahir dan tumbuh di Sampan (1990an), hanya berapa pembatik saja tersisa. Pasar, tempat pencucian batik sudah tidak berfungsi.
Seorang pembatik sampan tersohor yang sempat ia tanyai adalah Rusli. Rusli adalah simpul kunci dari sejarah batik sampan. Ia cukup lama bertahan sebagai pembatik. Seluruh perlengkapan batik sampan ia miliki. Hanya saja ilmunya tidak sepenuhnya terserap Dewi.
Seingat Dewi pembeda batik sampan terletak pada motifnya. Motif batik sampan itu ada lima, seperti, sirih gadang, kaluak paku, pucuk rabuang, burung Hong dan carano.
Kelima motif itu cetakannya pernah ditunjukkan Rusli pada Dewi, beberapa kali Dewi juga sempat menggunakan cetakan tersebut.
Sejak Dewi aktif sebagai pembatik, motif baru yang cukup lekat dengan batik sampan adalah motif Tabuik.
Sedangkan lima motif utama masih digunakan, hanya saja ia lebih sering memadukannya dengan motif lain untuk mendapat pembaharuan.
"Jadi untuk menyesuaikan kebutuhan konsumen, saya coba variasikan dan padukan motif tersebut tanpa menghilangkan maknanya," jelas Dewi.
Saat ini batik sampan di Dusun Sampan terus tergusur. Pelakunya hanya menyisakan Dewi. Kebanyakan masyarakat masih belum tertarik meneruskan identitas Dusun Sampan itu.
Kendati demikian batik sampan masih eksis di Kota Pariaman, hanya saja tempat produksi masifnya sudah tidak lagi di Dusun Sampan.
Kepala Desa Punggung Ladiang Kota Pariaman Aulia Mardhani Arif, mengatakan, persoalan sejarah batik sampan ini memang luput dari masyarakat Dusun Sampan.
Hanya saja ia menilai, sejarah itu masih bisa diulas kembali melalui pelakunya yang masih tersisa.
"Kami sedang berupaya untuk mendapatkan sejarah dari batik sampan ini, saya berharap batik sampan bisa kembali eksis seperti masa lampau," terangnya.
Batik Sampan di Dusun Sampan Perlu Dilestarikan
Meski batik sampan lahir di Dusun Sampan, kondisinya sekarang pekerja batik sampan yang masih aktif, tinggal Dewi seorang.
Pada tahun 2019, ia sempat membuat kelompok batik untuk mengerjakan sejumlah pesanan. Hanya saja satu tahun belakang anggota kelompok itu memiliki kesibukan lain.
Dewi mengaku minat masyarakat untuk belajar batik sampan dan menjadi pembatik di Dusun Sampan terus berkurang.
Ia yang sudah belasan tahun jadi pembatik, banyak anak muda di daerah itu belum mau bergelut membuat batik sampan ini.
"Kalau pelakunya terus berkurang, saya takut batik sampan di Dusun Sampan hanya tinggal nama saja," terang, ibu dua anak itu.
Bersandar pada sejarah, batik sampan dinamai demikian karena asal usul dan ciri khas pembuatannya. Kalau hanya nama batik sampan yang tersisa, tapi pembuatannya di daerah lain, akan membuat masyarakat Dusun Sampan rugi.
Menurutnya sejarah batik sampan ini harus kembali disampaikan pada masyarakat luas, terutama anak muda. Agar mereka mau belajar batik sampan dan menghidupkannya kembali.
Berdasarkan pengamatan Dewi, menurutnya pelaku batik sampan ini tidak terlepas dari proses pengerjaannya yang tidak instan.
Menjadi pembatik, Dewi mengaku harus sabar menghabiskan waktu sampai satu pekan untuk menyelesaikan satu pesanan. Jika pesanan itu bagus dan tidak terkendala barulah ia mendapat uang.
"Pengalaman saya setiap kelompok batik sampan yang pernah saya ikuti, proses itu yang tidak sabar mereka lewati," jelasnya.
Ia melihat banyak pembatik muda, ingin langsung mendapat uang sejak mulai memproduksi batik. Cara pikir ini harus diubah, agar pembatik muda bisa ikut ambil andil menghidupkan batik sampan di Dusun Sampan.
Minimnya minat pembatik baru ini, menurut Dewi sebenarnya tidak sejalan dengan dukungan pemerintah. Ia menilai selama jadi pelaku batik sampan ragam bantuan dari pemerintah sempat ia terima.
Mulai dari pelatihan, alat, bahan mentah hingga konsumen pernah ia dapat untuk menjalani usaha batik ini.
Harapan Dewi jelas batik sampan harus dilestarikan dan ia siap untuk ambil andil dalam membantu mereka yang satu pendapat dengannya.
Sembari menunggu adanya masyarakat yang ingin belajar, Dewi mengaku untuk beberapa waktu ke depan ingin fokus jadi ibu rumah tangga dulu dan istirahat memproduksi batik sampan.
"Rencana saya ingin istirahat dulu membuat batik sampan, tapi kalau ada yang mau belajar, saya selalu siap membantu," terang Dewi Sartika
Pendapat serupa untuk melestarikan batik juga diamini oleh Kepala Desa Punggung Ladiang, Pariaman Selatan Kota Pariaman, Aulia Mardhani Arif, menurutnya batik sampan di Dusun Sampan harus terus dirawat.
Ia bersama perangkat desa lainnya mengaku sudah memiliki rencana untuk menjaga kelangsungan batik di daerah itu. (TribunPadang.com/Panji Rahmat)
________________
Baca berita TribunPadang.com terbaru di Google News