Arca Dwarapala ditempatkan di depan bangunan candi sebagai area penjaga, ditunjukkan dengan ciri-ciri peralatan yang dipegang oleh tangan kanannya yaitu sebuah gada, adapun laksana di tangan kirinya tidak diketahui karena sudah aus.
Di bahu area tersebut juga terdapat upawita (tali kasta) berupa seekor ular. Laksana yang dipakai adalah sesuatu yang menyeramkan mengingat fungsi area tersebut sebagai area penjaga agar bangunan suci terhindar dari unsur-unsur yang tidak dikehendaki.
Di bagian atas makara biasanya berasosiasi dengan kala yang diletakkan pada bagian atas pintu masuk bangunan candi.
Menurut Nurmatias, Kala-makara merupakan simbolisasi dari persatuan dari penguasa gunung (kala) dan laut (makara).
"Menelisik lebih jauh bahwa penggambaran figur manusia untuk mulut makara banyak ditemukan pada makara-makara candi Masa Sriwijaya, tetapi jenisnya berbeda-beda ada yang berbentuk figur prajurit (Padang Lawas, Padang Nunang), figur penjaga (candi Solok Sipin), da figur resi (makara candi di Bumiayu)," jelas Nurmatias .
Temuan figur prajurit dengan membawa senjata dan perisai, kata dia, juga ditemukan di makara-makara di Percandian Padang Lawas, figur penjaga yang memegang gada ditemukan di Candi Solok Sipin.
Namun menurutnya, dari data awal tersebut, dirasa masih perlu dilakukan pelindungan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Kebudayaan mempunyai tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan serta fasilitasi pelestarian Cagar Budaya di wilayah kerjanya yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (Kepri).
Kemudian, merujuk pula pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam Pasal 23 ayat 3 bahwa instansi yang berwenang di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap temuan didasarkan pada laporan baik laporan dari instansi kebudayaan di Pasaman dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini Kapolres Pasaman, dan instansi terkat lainnya.
Pengkajian yang dimaksud diawali dengan bentuk kegiatan penjajakan atau survei penyelamatan.
Survei penyelamatan sesuai dengan Pasal 58 ayat 1 bahwa Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk (a) mengecegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan (b) mencegah pemindahan dan beralihanya kepemilikan dan/atau penguasa Cagar Budaya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berpijak dari hal tersebut, BPCB Sumatera Barat akan melakukan penjajakan dan survei untuk mengumpulkan seluruh data baik mengenai riwayat penemuan, identitas penemu, data arkeologis, dan data teknis lainnya.
"Dari data yang dikumpulkan dari penjajakan dan survei penyelamatan nantinya akan dijadikan sebagai acuan dan landasan dalam melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan temuan makara di Padang Nunang tersebut di masa yang akan datang dengan selalu berlandaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya," jelas Nurmatias. (*)