Kakek Firmus yang bekerja sebagai pemulung di Padang, sudah 23 tahun tak melihat kampung halamannya di Nias, Sumatera Utara.
Laporan Wartawan TribunPadang.com/Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Hari sudah sore. Jam tangan menunjukan pukul 15.20 WIB.
Tampak seorang laki-laki paruh baya mengais rezeki dengan memulung di Jalan Jenderal Sudirman, Padang.
Kulit laki-laki yang mengenakan kaos partai itu sudah keriput.
Untuk berlindung dari panas matahari, laki-laki itu mengenakan caping yang biasa digunakan petani untuk ke sawah.
Laki-laki itu berusia 63 tahun. Ia bernama Firmus.
• Yesri Heriana Sebut Ada Perempuan Korban Kekerasan Seksual Harus Mencari Sendiri Bukti-buktinya
• Jika Terpilih, Prabowo Akan Cari Bukti Korupsi dan Kejar Koruptornya Sampai ke Antartika
Aktivitas memulung dilakukan Firmus dan istrinya sejak puluhan tahun silam.
Firmus berkeliling sambil mengayuh sepeda tua dan membawa gerobak berukuran besar.
Wadah gerobak digunakan untuk menyimpan barang-barang bekas yang dikaisnya dari tempat sampah, yang dirasa masih laku dijual.
Tiap melewati permukiman warga, jalan-jalan, atau area pertokoan di wilayah Jati, Jalan Sudirman hingga Sawahan Padang, Firmus tak ragu memungut botol-botol plastik kemasan, botol kaleng, kardus, dan koran bekas dari tempat sampah.
• Taman Sitti Nurbaya di Malam Hari, Lokasi Foto Instagramable di Kota Padang
• PT HPM Buka Bengkel Resmi Sepeda Motor Honda di Kota Bukittinggi Sumbar
Barang bekas yang dikumpulkan Firmus sebagian ada yang dibersihkan, sebagian lagi tidak.
Biasanya untuk mendapatkan satu kilogram, Firmus harus mengumpulkan 240 gelas air mineral.
"Harga satu kilogramnya hanya Rp 8 ribu," ujar Firmus kepada TribunPadang.com, Jumat (8/3/2019).
Setiap harinya, Firmus hanya mampu mengumpulkan gelas plastik bekas sebanyak 2 kg.
Serta barang bekas dalam bentuk lain masing-masingnya 5 kg.
Firmus merinci harga barang bekas yang dikumpulkannya, untuk kardus harga Rp 1.300 per kg.
• BREAKING NEWS: Gempa 3,6 SR Guncang Pariaman Sumbar, Tidak Berpotensi Tsunami
• Zinedine Zidane Dinilai Pintar karena Pilih Tinggalkan Kursi Pelatih Real Madrid
Untuk kaleng harganya Rp 1.500 per kg, sedangkan kertas lebih mahal sedikit yaitu Rp 2.500 per kg.
Akan tetapi jarang Firmus mendapatkan barang bekas berbahan kertas.
Firmus menerima pasrah pekerjaan dia saat ini.
"Pekerjaan lain tidak ada. Jikapun ada lowongan, tidak ada yang menerima orang tua seperti saya," kata Firmus.
Meskipun selalu bertemankan sampah, lalat, dan bau menyengat tiap harinya, Firmus mengaku tak pernah ingin berhenti dari pekerjaannya.
• Zinedine Zidane Dinilai Pintar karena Pilih Tinggalkan Kursi Pelatih Real Madrid
• Viral di Facebook, Aksi Heroik Pengguna Tol Selamatkan Ibu dan Dua Anak yang Terjebak Banjir
"Saya sudah tua, Nak. Mau cari pekerjaan lain, sudah tidak diterima. Tenaga tidak ada lagi," ceritanya.
Laki-laki yang pernah mempunyai cita-cita bisa membeli rumah dan tanah ini, bercerita dia tak punya harapan lagi untuk meraih apa yang dicita-citakan.
"Uang dari mana? Untuk bayar sewa rumah Rp 7 juta setahun saja saya ikut julo-julo (arisan) atau pinjaman koperasi," kata laki-laki berkacamata ini.
Dia juga bercerita ketika beras habis, terpaksa ia harus menjual kardus seadanya untuk membeli beras.
Sesekali saat perjalanan memulung, Firmus diberi uang oleh orang-orang yang lewat.
"Katanya untuk beli sarapan," ujar Firmus sambil melihatkan uang sakunya.
Bekerja sebagai pemulung, Firmus tak pernah bisa merasakan mudik ke kampung halamannya sejak 23 tahun lalu.
Itu tak terlepas dari keterbatasan ekonomi yang dialaminya.
"Jika anak saya sudah pada menikah, mungkin saya akan kembali ke kampung halaman di Kabupaten Nias," katanya.
Firmus memiliki tiga orang anak laki-laki.
Anak pertama dan keduanya telah bekerja di luar Sumbar.
"Anak pertama saya sudah bekerja di Batam, anak kedua bekerja di Semarang, sedangkan anak ketiga di rumah. Umurnya masih 18 tahun,” jelas Firmus.
• Dapatkan 1000 Chicken Muffin Gratis dari McDonalds, Yuk Intip Syarat dan Waktunya
• Ini Makna Seragam Merah yang Digunakan Puluhan Wanita pada Aksi Diam di Padang
Sudah setahun anak-anak Firmus bekerja. Namun Firmus mengaku hanya sekali dikirimkan uang oleh anak-anaknya.
"Sekali waktu itu. Sekarang tidak ada lagi," tambah Firmus.
Dari tiga orang anak Firmus, hanya satu yang sekolahnya tamat hingga SMA.
"Anak pertama saya hanya tamat SMP. Anak kedua tamat SMA. Terakhir, mau naik kelas II SMP, dia memutuskan untuk berhenti sekolah," jelasnya.
"Itu semua karena terkendala biaya," ungkap Firmus.
Alasan Firmus merantau ke Sumbar karena di Kabupaten Nias tidak ada yang bisa dijadikan sebagai mata pencarian.
• Madura United Vs Persija Jakarta, Tim Macan Kemayoran Tanpa Pemain Pilar Raih Hasil Seri
• Viral di Facebook, Aksi Heroik Pengguna Tol Selamatkan Ibu dan Dua Anak yang Terjebak Banjir
"Tahun 1975 saya masih SD. Karena tak ada biaya, saya dan kawan merantau ke Padang. Kami menyewa rumah," ceritanya.
1994 Firmus sempat menjadi pekerja bangunan. Namun itu tidak bertahan lama.
Setelah itu dia memutuskan untuk beralih profesi menjadi pemulung.
"Saya jadi pemulung tahun 1995, saya berhenti jadi tukang bangunan, tidak kuat lagi. Akhirnya saya beli becak. Dan berkeliling mencari kaleng bekas," katanya.
Kini, dia bersama istrinya tinggal di Jalan Jati IV, Jati Baru, Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat.(*)