Citizen Journalism

Opini: Ironi! Ketika Sekolah tidak Lagi Aman

DUGAAN Kasus pencabulan yang mencoreng satu lembaga pendidikan atau sekolah di  Sumatera Barat, kiranya menyisakan luka mendalam. 

Editor: Emil Mahmud
Kompas.com
TRAGEDI DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN - Tragedi ini menjadi bukti bahwa sebagian lembaga pendidikan belum benar-benar aman bagi peserta didik, terutama perempuan. Tidak hanya mengalami trauma atas dugaan tindak pencabulan, karena korban bahkan harus menanggung intimidasi dari pihak sekolah.  

Oleh: Wahyu Saptio Afrima, Mahasiswa Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas 

DUGAAN Kasus pencabulan yang mencoreng satu lembaga pendidikan atau sekolah di  Sumatera Barat, kiranya menyisakan luka mendalam. 

Bagaimana tidak? Tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh, belajar, dan berlindung bagi para siswa, justru menjadi lokasi kejahatan seksual di lingkungan tempat korban menuntut ilmunya.

Tragedi ini menjadi bukti bahwa sebagian lembaga pendidikan belum benar-benar aman bagi peserta didik, terutama perempuan.

Tidak hanya mengalami trauma atas dugaan tindak pencabulan, karena korban bahkan harus menanggung intimidasi dari pihak sekolah. 

Alih-alih dilindungi, korban merasa dikucilkan, hingga akhirnya memutuskan untuk pindah sekolah. Terkadang pengakuan korban justru berujung pada tindakan represif dan ancaman dari pihak tertentu.

Sejatinya, ketidakbenaran yang diungkap itu hendaknya ditempun menuju jalan keberanian, sekaligus melawan ketidakadilan demi kebenaran.

Baca juga: Dukung Ujian Digital & Akses Belajar.id, Pemkab Dharmasraya Pasang Starlink di 17 Sekolah Blankspot

Ketika Lembaga Pendidikan Kehilangan Fungsi Asasinya

Secara ideal, sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi juga tempat internalisasi nilai moral, etika, dan perlindungan terhadap hak-hak siswa.

Ketika kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekolah, terlebih dilakukan oleh orang dalam, maka secara moral institusi tersebut telah gagal. 

Lebih jauh lagi, ketika lembaga tersebut mencoba “menyapu bersih” masalah tanpa menyelesaikannya secara adil, maka kepercayaan publik akan runtuh.

Kita perlu bertanya: ke mana siswa harus pergi untuk mendapatkan rasa aman, jika sekolah pun tidak bisa menjaminnya?

Menjadikan sekolah sebagai tempat aman bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Sebab lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi anak di bawah umur dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Baca juga: Gegara Curi 4 Sepeda Listrik dan 38 Aki di Tempat Kerja Sendiri, Pemuda di Padang Ditangkap Polisi

Perlindungan Hukum: UU dan Sanksi Pidana Jelas

Negara sebenarnya telah memberikan payung hukum yang kuat dalam upaya perlindungan anak dari kejahatan seksual. Pasal 76D dan 76E dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002) dengan tegas menyebutkan bahwa: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul."

Pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dijerat Pasal 81 dan 82 UU yang sama dengan pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, ditambah dengan denda paling banyak Rp5 miliar.

Tak hanya itu, pelaku yang memiliki hubungan kuasa terhadap korban (seperti guru atau pegawai sekolah) dapat dikenai hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Perlindungan Anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menyebutkan bahwa kekerasan seksual di sekolah merupakan bentuk eksploitasi terhadap relasi kuasa antara pendidik dan peserta didik. Pelaku seringkali memanfaatkan posisi dan jabatan untuk menutupi kejahatannya.

Jangan Lindungi Pelaku, Lindungi Korban!

Sejauh ini, disinyalir bahwa terjadi upaya pembungkaman dan impunitas yang masih kuat di banyak institusi pendidikan.

Korban bukan hanya membutuhkan keadilan dalam bentuk sanksi pidana bagi pelaku, tetapi juga pemulihan psikologis, pengembalian hak-haknya di sekolah, serta jaminan bahwa ia tidak akan mengalami trauma berkelanjutan.

Apresiasi pantas diberikan kepada para siswa yang berani menyuarakan keadilan. Namun, keberanian mereka seharusnya tidak menjadi pengganti sistem perlindungan yang semestinya disediakan oleh sekolah.

Pihak sekolah seharusnya menjadi pelindung utama bagi peserta didik, serta terbuka untuk diinvestigasi menyeluruh, keterbukaan informasi kepada publik, dan pembenahan sistem agar hal serupa tak terulang.

Baca juga: Opini : Tragedi di Dharmasraya dan Urgensi Perlindungan Anak

Perlu Reformasi Total Sistem Pengawasan di Sekolah

Kasus ini tidak boleh berhenti sebagai berita viral semata. Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan seharusnya memastikan bahwa setiap sekolah memiliki sistem pelaporan kekerasan seksual yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban.

Perlu adanya pelatihan wajib bagi guru dan staf sekolah tentang Etika Perlindungan Anak, gender sensitivity, serta manajemen krisis kasus kekerasan seksual. Sistem pengawasan juga harus diperkuat dengan membentuk satuan tugas perlindungan anak di setiap sekolah.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebenarnya telah mengeluarkan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sayangnya, regulasi ini belum ditegakkan secara maksimal di lapangan.

Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Ketika siswa bersuara, itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan panggilan nurani atas nilai-nilai keadilan yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian.

Karena jika sekolah bukan lagi tempat yang aman, maka kemana lagi anak-anak bangsa ini harus belajar? (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved