Ekonomi

Pakar Ekonomi UNAND: Tarif Impor Trump Ancam Ekonomi Indonesia: Dampak, Respons & Langkah Strategis

Kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, awal April 2025 menimbulkan gelombang kekhawatiran di kalangan pe

|
Editor: Emil Mahmud
Dok.Tribunpadang.com/Rima Kurniati
MOMENTUM JUMPA PERS - Akademisi Universitas Andalas (Unand) Bidang Ilmu Ekonomi, Hefrizal Handra (kiri) bersama Rektor Unand, Efa Yonnedi (tengah) serta Dosen Fakultas Hukum Unand, Khairul Fahmi melakukan sesi foto bersama. Mereka hadir dalam satu kesempatan jumpa pers belum lama ini di Kampus Limau Manis, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). 

TRIBUNPADANG.COM, PADANG — Kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, awal April 2025 menimbulkan gelombang kekhawatiran di kalangan pelaku ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Siaran pers yang diteruskan oleh Sekretaris Universitas Andalas (Unand) Aidinil Zetra ke redaksi, Jumat (11/4/2025) merilis analisis (news analysis) atas situasi ekonomi dunia dari Dr Hefrizal Handra, pakar ekonomi dari Universitas Andalas atau UNAND tersebut.

Sebagaimana diungkapkan oleh Dr Hefrizal Handra meskipun kontribusi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 9–10 persen dari total ekspor nasional, efek kebijakan tersebut akan terasa luas. 

"Dampak tak langsung akan menjalar melalui pelemahan permintaan dari mitra dagang utama kita seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN, karena rantai pasok global saling terhubung," jelas Hefrizal Handra, yang dikutip Sekretaris Unand.

Sejauh ini lanjutnya, kebijakan yang menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen terhadap semua negara dan tambahan tarif hingga 42 persen bagi negara-negara yang dianggap “tidak adil” dalam perdagangan, termasuk Indonesia, diprediksi membawa konsekuensi serius terhadap perekonomian nasional.

Efek Domino pada Sektor Strategis

Penurunan permintaan global memukul sejumlah sektor utama Indonesia. Industri manufaktur berorientasi ekspor, pertambangan, transportasi-logistik, serta investasi dan konstruksi menjadi yang paling rentan terhadap guncangan tarif ini.

"Ketika volume perdagangan internasional menurun, bukan hanya ekspor terganggu, tetapi sentimen investasi pun ikut goyah," papar Hefrizal Handra.

Namun demikian, imbuhnya tak semua sektor mengalami tekanan. Beberapa sektor yang berfokus pada pasar domestik seperti pertanian, e-commerce, dan pariwisata lokal justru menunjukkan resiliensi yang lebih tinggi, membuka peluang untuk diversifikasi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.

Tantangan Stabilitas Ekonomi

Walaupun tekanan eksternal meningkat, Indonesia masih memiliki fondasi ekonomi yang relatif kokoh. Cadangan devisa nasional mencatatkan posisi di atas USD 135 miliar—setara lebih dari enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri jangka pendek.

Sementara itu, inflasi terkendali dalam rentang 2,5 persen–3 persen, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB tetap di bawah 40 persen.

Kendati demikian, risiko krisis tidak dapat diabaikan. "Jika ketidakpastian berlarut dan kepercayaan investor menurun drastis, arus modal keluar bisa terjadi, yang pada akhirnya melemahkan nilai tukar rupiah," ujar Dr Hefrizal dengan nada waspada.

Respon Kebijakan: Jalan di Tengah Badai

Pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan kebijakan yang rumit. Di sisi fiskal, dorongan untuk mempercepat belanja infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial dinilai strategis untuk menstimulasi permintaan domestik.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved