Citizen Journalism
Opini : Fenomena Bahasa di Ruang Publik
Bahasa di ruang publik bukan sekadar alat komunikasi, tetapi cerminan nilai-nilai sosial. Cara kita
Oleh Ike Revita , Penulis adalah Dosen Prodi Magister Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Unand
Bahasa di ruang publik bukan sekadar alat komunikasi, tetapi cerminan nilai-nilai sosial. Cara kita berbahasa adalah cara kita membangun atau meruntuhkan jembatan antar sesama- Ike Revita
BAHASA bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin dari dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat (Revita, 2023).
Di ruang publik, bahasa memiliki peran yang signifikan dalam membentuk interaksi antarindividu serta mengatur norma dan etika berkomunikasi.
Dalam konteks ini, fenomena bahasa di ruang publik tidak hanya mencakup aspek linguistik, tetapi juga mengandung muatan sosial, budaya, dan politis yang merefleksikan perkembangan zaman.
Terutama di era digital seperti saat ini, ruang publik telah meluas ke dunia maya, di mana interaksi dan penggunaan bahasa menjadi semakin kompleks dan sering kali kontroversial.
Salah satu fenomena yang mencolok adalah pergeseran penggunaan bahasa formal ke bahasa informal (Revita, 2024), bahkan dalam situasi yang sebelumnya diharapkan bersifat resmi.
Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram telah memberikan kebebasan bagi penggunanya untuk mengekspresikan diri dengan lebih spontan dan tanpa hambatan.
Bahasa gaul, singkatan, dan emoji sering kali mendominasi percakapan di platform ini, sehingga batasan antara bahasa yang sopan dan tidak sopan menjadi kabur.
Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan fleksibilitas bahasa dalam mengikuti perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kelonggaran dalam berbahasa di ruang publik ini dapat mengikis norma-norma kesopanan dan etika komunikasi.
Contoh yang paling mudah ditemui adalah dalam konteks politik dan sosial. Bahasa yang digunakan dalam diskusi publik mengenai isu-isu kontroversial sering kali diwarnai oleh ujaran kebencian, sindiran, dan sarkasme (Revita, 2024a).
Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat pertukaran ide yang sehat justru sering kali diisi oleh perdebatan yang mengarah pada polarisasi, di mana penggunaan bahasa yang kasar dan ofensif menjadi hal yang lazim.
Fenomena ini dapat dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial yang penuh dengan ketegangan, di mana perbedaan pendapat sering kali tidak diakomodasi dengan baik, melainkan direspons dengan bahasa yang provokatif.
Selain itu, dalam interaksi sehari-hari di ruang publik fisik seperti pasar, transportasi umum, atau kantor layanan publik, penggunaan bahasa juga mencerminkan adanya perbedaan sosial dan budaya.
Di pasar tradisional, misalnya, kita dapat melihat penggunaan bahasa yang sangat berbeda dibandingkan dengan bahasa yang digunakan di ruang-ruang resmi seperti kantor pemerintahan.
Di sini, bahasa daerah dan ungkapan-ungkapan khas lokal sering kali menjadi alat komunikasi utama, menunjukkan bagaimana bahasa mampu menciptakan rasa kebersamaan dan identitas di antara anggotanya.
Namun, ada juga fenomena lain, yaitu pergeseran bahasa daerah ke bahasa nasional atau bahkan bahasa asing dalam beberapa situasi, yang sering kali dianggap lebih prestisius.
Tantangan yang muncul dalam fenomena bahasa di ruang publik ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap norma-norma berkomunikasi.
Di satu sisi, kebebasan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan gaya dan preferensi masing-masing individu adalah bagian dari hak asasi manusia.
Namun, di sisi lain, penggunaan bahasa yang tidak tepat, terutama dalam ruang publik, dapat menimbulkan konflik dan kesalahpahaman.
Dalam konteks ini, literasi berbahasa menjadi semakin penting. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan bahasa dengan baik, terutama dalam ruang-ruang publik di mana banyak kepentingan dan sensitivitas yang perlu dipertimbangkan.
Edukasi mengenai etika berkomunikasi, baik di dunia nyata maupun digital, perlu ditingkatkan untuk mencegah dampak negatif dari penggunaan bahasa yang tidak bijak.
Secara keseluruhan, fenomena bahasa di ruang publik mencerminkan kompleksitas interaksi sosial dan perkembangan budaya di era modern (Revita, 2023a).
Bahasa yang kita gunakan bukan hanya mencerminkan diri kita, tetapi juga mencerminkan masyarakat tempat kita hidup.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus memerhatikan cara kita berbahasa di ruang publik, karena di sanalah kita membangun hubungan sosial dan berkontribusi pada tatanan masyarakat yang lebih baik.(*)
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.