Sumatera Barat
Advokat dan Jurnalis di Sumbar Konsolidasi, Hendra Makmur Sebut 4 Kuadran Arus Media
Kasus kekerasan pada pers meningkat baik secara nasional maupun lokal Sumbar dalam rentang beberapa tahun
Penulis: Emil Mahmud | Editor: Emil Mahmud
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Kasus kekerasan pada pers meningkat baik secara nasional maupun lokal Sumbar dalam rentang beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data kasus dimaksud, level nasional dari Tahun 2021 sebanyak 43 kasus, Tahun 2022 (61 kasus)/hingga Tahun 2023 (89 kasus).
Sedangkan, level lokal Sumbar juga grafiknya meningkat dari Tahun 2021 sebanyak 2 kasus, Tahun 2022 (2 kasus), dan Tahun 2023 (5 kasus).
Demikian data yang diungkapkan Hendra Makmur yang merujuk rekapitulasi data LBH Pers dan AJI saat presentasi pada Konsolidasi Jurnalis, Advokat, dan Akademisi Hukum di Sumbar: Menolak RUU Penyiaran dan Mendorong Konsolidasi Masif Masyarakat Sipil”. Kegiatan diadakan di lantai 2 Soerabi Bandung, Enhai Kota Padang, Provinsi Sumbar (27/5/2024).
Hendra Makmur yang merupakan Jurnalis Senior dan anggota Majelis Pertimbangan dan Legislasi (MPL) Nasional AJI juga membuka data media dan perusahaan pers baik yang terverifikasi baru sebatas administrasi hingga faktual serta data jurnalis/wartawan yang telah lulus uji kompetensi.
Sejauh ini, lanjutnya terdapat empat kuadran, yang membedakan arah kebijkan media yaitu, media arus utama, komunitas, buzzer, hingga partisan.
Sebelumnya, Advokat dan Jurnalis di Sumatera Barat mengadakan agenda konsolidasi dalam kerangka merawat semangat kebebasan pers serta memetakan peluang, tantangan, dan ancaman kebebasan pers, termasuk di Sumatera Barat atau Sumbar.
Hadir sebagai pemantik diskusi kali ini, bersama Hendra Makmur jugq tampil, Ilhamdi Putra Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manejer Riset LBH Pers Padang, dan Direktur LBH Pers Padang, Aulia Rizal, advokat dan Direktur LBH Pers Padang.
Agenda konsolidasi yang difasilitasi oleh LBH Pers Padang, AJI Padang, dan LBH Pers Jakarta ini, dihadiri oleh sejumlah advokat dan jurnalis yang mewakili berbagai Organisasi Bantuan Hukum dan Organisasi Profesi Wartawan di Sumatera Barat. Di antaranya, tampak hadir Ketua AJI Padang, Novia Harlina beserta pengurusnya, sedangkan delegasi dari PWI Sumbar, Emil Mahmudsyah serta Afdhal dari pers mahasiswa serta hadirin lainnya.(*)
Organisasi dimaksud terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumatera Barat, Rumah Bantuan Hukum (RBH) Padang, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Padang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Barat, dan Asosiasi Pers Mahasiswa (Aspem) Sumatera Barat.
Adapun persoalan kebebasan pers yang dihasilkan dari proses diskusi dan konsolidasi lintas profesi dan organisasi jurnalis-advokat ini, terdapat temuan-temuan yang cukup kompleks. Di antaranya: ancaman, intimidasi, bahkan mendapatkan kekerasan dari aparat penegak hukum saat melakukan kerja-kerja jurnalistik seperti peliputan aksi demonstrasi dan sejenisnya. Tidak terkecuali terkait kemunculan RUU Penyiaran yang diyakini dan amat dikhawatirkan mengancam kebebasan pers, termasuk komunitas pers di Sumatera Barat.
Menurut Ilhamdi Putra, selaku Akademisi yang juga menjabat sebagai manajer riset LBH Pers Padang, RUU Penyiaran amat membahayakan iklim kebebasan pers.
Kekhawatiran ini, menurut Ilhamdi sangat berdasar. Alih-alih diregulasikan sebagai undang-undang perubahan kedua, RUU Penyiaran lebih berupa pembentukan undang-undang baru. Sebab draf RUU Penyiaran justru mengubah keseluruhan norma dalam UU 32/2002 Tentang Penyiaran melalui penambahan 93 pasal baru dan tanpa satupun pasal yang dipertahankan.
Dari sisi desain, RUU Penyiaran seolah hendak menciptakan dualisme antara KPI dan Dewan Pers melalui perluasan kewenangan KPI. Dengan kata lain, beberapa norma dalam RUU Penyiaran berpotensi mengalami perbenturan dengan norma UU Pers yang menjadi legitimasi kewenangan Dewan Pers.
Ilhamdi melanjutkan bahwa, secara simultan hal itu mengakibatkan terjadinya pendikotomian ekosistem jurnalistik. Pendikotomian ini berasal dari pembelahan antara karya jurnalistik audio dan audio-visual yang berdasarkan RUU Penyiaran digawangi oleh KPI, dan mengakibatkan wilayah kewenangan Dewan Pers menyempit pada karya jurnalistik konvensional-general.
Sementara dari sisi substansi, selain tentang larangan jurnalisme investigasi yang ramai diperbincangkan, RUU Penyiaran mengandung banyak pasal karet, misalnya larangan peliputan gaya hidup negatif.
Bahkan terdapat beberapa pasal yang berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal yang majemuk. Selain itu RUU Penyiaran juga berpotensi menyandera keberpihakan politik pengusaha pers dan pengelola media untuk tetap mendukung pemerintahan karena adanya larangan menyiarkan pemberitaan berdasarkan kepentingan politik pengusaha pers atau pengelola media, sedangkan parameter kepentingan politik itu ditafsirkan secara subjektif.
Dalam bahasa sederhana, RUU Penyiaran mengharuskan media-media arus utama yang umumnya dimiliki atau dikelola politisi berfungsi sebagai corong politik kekuasaan.
Hal tersebut juga menjadi dasar kekhawatiran para partisipan konsolidasi, terutama para jurnalis di semua organisasi profesi wartawan di Sumatera Barat yang merupakan konstituen Dewan Pers, termasuk Pers Mahasiswa yang terhimpun di dalam Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera Barat.
Sehingga dalam diskursus tersebut pada prinsipnya seluruh jurnalis, advokat, pegiat HAM, dan akademisi yang diwakili oleh organisasi bantuan hukum dan organisasi profesi wartawan di Sumatera Barat, berpendapat penting untuk menolak RUU Penyiaran tersebut, serta mendesak DPR RI dan Pemerintah dalam hal ini Presiden untuk membatalkan rencana perubahan.
Dia berharap semua pihak, baik jurnalis, kreator konten, media independen, pelaku seni, pegiat hukum, akademisi, mahasiswa dan seluruh masyarakat sipil untuk turut aktif menyuarakan penolakan RUU Penyiaran ini.
Adapun hasil konsolidasi lain yang terbangun adalah semua peserta konsolidasi bersepakat untuk membangun konsolidasi melibatkan semua entitas masyarakat sipil lebih luas lagi.
Tidak hanya menyangkut mengukuhkan gerakan penolakan RUU Penyiaran yang lebih masif lagi, termasuk menghimpun soliditas gerakan masyarakat sipil yang berkelanjutan dan dapat lebih melibatkan banyak pihak, multi-entitas.
Di antaranya organisasi profesi wartawan, organisasi bantuan hukum, organisasi kepemudaan dan mahasiswa, organisasi pers mahasiswa, pegiat HAM, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil lainnya di Sumatera Barat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.