Literasi Digital Pasbar

Asal Usul Nagari Jambak, Bukan Jawa Minang Batak

Jika kita dari Padang ke Simpang Ampek, Kabupaten Pasaman Barat. Sekitar 3 km sebelum Simpang Ampek, ada daerah bernama Jambak.

|
Editor: Rahmadi
Dok. Pribadi
Kantor Nagari Lingkuang Aua Jambak, Kecamatan Pasaman, Pasaman Barat. 

Oleh: Tim Sofia, S.Pd.M.Pd, Guru SDN 17 Pasaman Jambak, Kecamatan Pasaman, Pasaman Barat

Jika kita dari Padang ke Simpang Ampek, Kabupaten Pasaman Barat. Sekitar 3 km sebelum Simpang Ampek, ada daerah bernama Jambak. Daerah ini berada di Nagari Lingkuang Aua Jambak, dengan jumlah penduduknya lebih kurang 3.555 Jiwa.

Selama ini orang menyebut, Nagari Jambak berawal dari nama dari singkatan Jawa, Minang, Batak. Namun, sebutan yang selama ini melekat dipikiran banyak orang, justru keliru. 

Bapak Maisar selaku Sekretaris Nagari saat ini dan juga orang tuanya merupakan penduduk yang sudah lama berdomisili di Jambak, menyampaikan bahwa sebenarnya jauh sebelum terbentuknya perkebunan sawit Ophir di Jambak ini ada surau yang benama Surau Imam Jambak. 

Surau ini didirikan oleh Tuanku Syeh Imam Jambak, namun itu tidak ada lagi. jika dilihat dari letaknya tidak Jauh dari lokasi tersebut didirikanlah Mesjid Al Falah yang sekarang masih ada meski telah terjadi beberapakali perubahan bentuk pembangunanya. 

Hal ini terjadi karena setelah Indonesia merdeka tanah bekas perkebunan Belanda diserahkan pada Purnawirawan TNI, termasuk daerah Jambak.

Baca juga: Kunjungi Negeri Jiran Malaysia Karena Prestasi Akademik di Sekolah

Kemerdekaan sudah diraih, daerah yang masih hutan belantara serta perkebunan Ophir yang diolah Belanda telah ditinggalkan. 

Pemeritah Indonesia pada saat itu, memberikan penghargaan khusus kepada TNI  yang bertugas di daerah Minang yang berasal dari pulau Jawa. Seperti suami Malwarni (82), Almarhum suami beliau merupakan TNI dari Jawa dan bertugas di Bukittinggi. 

Kemudian dipindahtugaskan ke Jambak dengan dalih bahwa setiap TNI yang mau tinggal di wilayah Ophir, akan diberi pesangon 50.000 ribu rupiah dan tambahan 2 hektar tanah perkebunan.

Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Haji Prapto yang merupakan anak pensiunan TNI Kodam 3 Payakumbuh yang Almarhum ayah beliau juga barasal dari Jawa dan pindah ke Jambak.

Namun, rasa enggan orang menerima penghargaan tersebut cukup banyak. Tidak semua TNI mau menerima penghargaan tersebut. Tidak jarang para TNI menolak untuk tinggal di hutan perkebunan.

Baca juga: Media Sosial dan Pendidikan Bagaikan Kunci dengan Gembok

Bahkan ada TNI yang mendapatkan lahan perkebunan yang banyak namun diberikan pada orang lain agar menjadi sebuah perkampungan yang ramai.

Pada pemeritahan presiden Soeharto, mulai dibuka PTP 6 atau di sebut perkebunan Pir Ophir yang berarti Perkebunan Inti Rakyat Ophir. 

Untuk mencukupi jatah pembagian dan pembukaan perkebunan kelapa sawit pada pemeritahan Presiden Soeharto, maka pembagian tersebut diberikan 60 persen untuk daerah Inti dan 40 persen untuk rakyat yang terletak di Jambak. 

Untuk mencukupi kuota pendaftaran bagi yang ingin, masyarakat bisa juga diberi jatah perumahan dan tanah perkebunan 2 hektar. Pembagian ini diberikan dengan cara dana talang, karena dana pengolahan perkebunan tersebut dibantu BANK Dunia yang merupakan Proyek dari Jerman. 

Dengan perjanjian, jika panen nantinya sebagian akan dibayar untuk modal pembukaan lahan dan modal perkebunan. Jika sudah lunas maka, perkebunan dan sertifikatnya adalah pemilik masyarakat yang terdaftar dalam kelompok tersebut.

Baca juga: Tak Selamanya Mendung itu Kelabu, Mentari Telah Menjelma di Sekolah Ku SMAN 1 Lembah Melintang

“Hal itu membuat masyarakat pribumi tidak percaya, bahwa itu akan diberikan pada masyarakat,” jelas pak Haji Prapto. 

Mengapa masyarakat lingkungan setempat tidak mau menerima tawaran tersebut, karena trauma akan penindasan dilakukan Belanda pada buruh pabrik yang didatangkan langsung dari Jawa. 

Hal ini menimbulkan ketakutan, bagi mantan buruh pabrik yang saat itu bermukim di Bandarejo, Sidomulyo, dan Padang Lawas. Mereka tidak mau dan tidak ingin terlibat lagi dalam perkebunan Ophir. Lalu tawaran-tawaran sering ditolak, dengan alasan mereka percaya itu hanya siasat Belanda saja.

Pada Akhirnya ada sekelompok masyarakat yang tinggal di Batang Lingkin, sebenarnya mereka itu berasal dari daerah Cubadak yang terletak sekarang di wilayah dekat Panti Kabupaten Pasaman. 

Menurut Agus Hamdi (1975:35) “Batang saman merupakan sungai yang berhulu di nagari Cubadak dan bermuara di Sasak dan sungai ini selain untuk pengairan juga digunakan untuk alat perhubungan.

Baca juga: Si Bocil yang Gigih

Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan mengapa masyarakat Cubadak banyak bermukim di Batang Lingkin yang jaraknya sangat dekat dengan sungai Batang Saman. 

Orang Cubadak yang tinggal di Batang Lingkin mau ikut dalam kelompok perkebunan kelapa sawit tersebut lalu tercukupilah kuota untuk pembagian lahan perkebunan sawit untuk rakyat. 

Maka, daerah tersebut didiami oleh TNI yang berasal dari Suku Jawa yang bertugas di daerah Minang yang beristri orang Minang dan orang yang berasal dari daerah Cubadak dengan bahasa khas Mandahiling. Hal ini dibenarkan dengan banyaknya kepemilikan awal perkebunan Jambak tersebut dari orang Jawa, Minang, dan orang Cubadak.

Kemudian timbul pertanyaan kenapa orang banyak mengatakan Jambak itu Jawa Minang Batak. “Sebenarnya datangnya saudara kita dari daerah Batak jauh sesudah terbentuknya kampung Jambak,” pungkas Haji Prapto.(*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved