Citizen Journalism

Opini : Netralitas dalam Bahasa, Ditelaah dan Dideteksi dari Pilihan Diksi

Tahun 2024 merupakan tahun politik sekaligus tahun demokrasi bagi bangsa Indonesia

Editor: Emil Mahmud
buku bahasa Indonesia kelas 10 Kurikulum Merdeka
Ilustrasi 

Oleh : Shilva Lioni, Dosen Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Andalas

PADA Tahun 2024 merupakan tahun politik sekaligus tahun demokrasi bagi bangsa Indonesia.

 

Kontestasi politik yang menghadirkan pemilihan umum serentak yang digelar di seluruh wilayah Indonesia seakan membawa semangat membara bagi setiap individu. Yakni, untuk kemudian menyuarakan aspirasi dan suaranya melalui berbacai cara salah satunya yakni melalui bahasa baik itu pada saat hari H maupun yang ditampilkan jauh sebelum hari H penyelenggaraan pemilu.

 

Menariknya, jauh melebihi hanya sekadar sebagai sebuah alat untuk berkomunikasi, kehadiran bahasa bahkan juga mampu sekaligus menjadi alat untuk menunjukkan keberpihakkan dan posisi seseorang yakni melalui ketidak-netralan yang ditampilkannya dalam berbahasa.

 

Melalui penggunaan kata, pemilihan kata, dan ritme yang digunakan dalam berkomunikasi, pada saat yang bersamaan ternyata, bahasa juga mampu mengungkapkan posisi dan keberpihakan dari si penutur terhadap sebuah hal atau isu.

 

Hal inilah yang terjadi beberapa hari yang lalu ketika penulis mecermati penggunaan bahasa yang ditampilkan dalam sebuah media televisi nasional yakni dalam sebuah program berita yang mana meliput tiga paslon presiden dan wakil presiden yang kemudian berhadapan di bilik suara pada saat pemilihan umum.

 

Diliput dari tiga titik lokasi berbeda dalam konteks yang sama yakni sedang dalam posisi kampanye di hadapan masyarakat Indonesia, salah satu paslon disebutkan secara gamblang dalam pemberitaan yakni sedang melakukan aksi tebar janji sementara disaat yang bersamaan paslon lainnya disebutkan sedang berkomitmen dan lainnya menyapa rakyat.

 

Pemilihan kata yang ditampilkan ini, tentu secara gamblang dapat memperlihatkan pada kita akan adanya keberpihakkan atau ketidak-adilan yang ditampilkan dalam pemilihan kata atau diksi yang digunakan oleh media, padahal jika dicermati lebih lanjut konteks situasi peristiwa yang diliput dalam pemberitaan ini adalah sama yakni menampilkan paslon-paslon pada saat melakukan kampanye dihadapan masyarakat.

 

Dugaan adanya keberpihakkan dan subjektifitas seakan turut hadir ketika membingkai dan mendefenisikan peristiwa dalam kasus ini.

 

Isu seperti subjektifitas dan ketidak-netralan dalam bahasa sebenarnya sudah bukan menjadi hal baru dan tabu dalam dunia bahasa.

 

Sebagai sebuah alat ekspresi, kehadiran bahasa memang seringkali dapat dimanfaatkan untuk menyerbarkan fakta, opini, bahkan idealogi serta perspektif yang mana dalam penyampaiannya ada yang menampilkannya secara gamblang dan terang-terangan, namun juga ada yang menampilkannya secara halus atau tersirat.

 

Netralitas dalam bahasa pada dasarnya dapat dideteksi dan ditelaah melalui pilihan kata atau penggunaan diksi yang digunakan dan dipilih dimana pemilihan kata dalam hal ini seakan menjadi penentu keras dalam mempengaruhi dan melihat kehadiran netralitas yang ditampilkan dalam sebuah bahasa.

 

Lebih lanjut sebagai ilustrasi juga kita dapat lihat yakni pada saat penggunaan kata “musuh” yang cenderung dipilih dan digunakan dibandingkan “lawan”, kata “pendek” yang cendereung dipilih dan digunakan dibandingkan kata “kurang tinggi”, kata “jelek” dibandingkan “sedikit berbeda” atau “kurang cantik”, dan seterusnya.

 

Penggunaan kata-kata demikian dinilai akan mampu menyakiti atau menghancurkan sebuah oknum dan memperlihatkan ketidak-sukaan atau kebencian.

Teks merupakan sesuatu hal yang kompleks. Berbicara soal teks, tidak terlepas dari bagaimana suatu realita dibentuk dan dikonstruk melalui bahasa, dimana seringkali berbagai kondisi diduga hadir dan mewarnai sebuah teks.

 

Teks dalam hal ini bukan lagi hanya merujuk pada tataran sebuah bahasa dalam bentuk tertulis, namun lebih jauh juga mengacu pada ekspresi bahasa yang memiliki informasi, fungsi dan tujuan tertentu.

 

 

Adanya pelabelan, pendefenisian, dan bentuk tindak tutur yang ditemukan dan ditampilkan pada berbagai berita dewasa ini mengindikasikan bahwasanya daripada memaknai sebuah peristiwa secara objektif, banyak media massa dewasa ini cenderung memaknai sebuah peristiwa melalui ideologi mereka dimana tidak adanya netralitas dalam bahasa seringkali hadir mewarnai dibelakangnya.

 

Padahal jika ditelaah lebih lanjut, sebuah kata pada dasarnya selalu memiliki padanan kata yang baik dan netral disamping yang buruk. Dimana jika bisa memilih yang baik kenapa kita harus menggunakan yang buruk dan merusak netralitas dalam bahasa?

 

Pemilihan kata yang netral dan baik akan menjadi jalan untuk menggeser ketidak-netralan dalam bahasa karenanya gunakan lah bahasa yang baik terlebih jika ditujukan dan menyangkut kedamaian ditengah-tengah masyarakat.

 

Penulis berpendapat bahwa jangan sampai kita menjadi bagian dalam menciptakan konflik dan kegaduhan melalui bahasa yang kita gunakan! Jadilah bijak dalam bertindak dan berbuat.

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved