Citizen Journalism

Opini Framing dan Bias Teks dalam Jurnalistik

Pada saat membahas dunia jurnalistik, bahasan seputar framing dan bias teks menjadi topik yang menarik untuk dicermati secara kritis, tapi obyektif.

Editor: Emil Mahmud
TribunPadang.com/RahmatPanji
Ilustrasi: Seorang jurnalis saat meliput event, yakni prosesi mambuang Tabuik ke laut di pantai Gondoriah Kota Pariaman Sumatera Barat, Minggu (14/8/2022) lalu. 

Oleh : Shilva Lioni Dosen Program Studi Sastra Inggris Universitas Andalas, Pengajar Mata Kuliah Jurnalistik 

KETIKA membahas dunia jurnalistik, bahasan seputar framing dan bias teks menjadi topik yang menarik untuk dicermati secara kritis, tapi obyektif.

Dewasa ini, banyaknya fenomena bias teks yang muncul pada pemberitaan maupun opini yang ditampilkan di berbagai media menyiratkan adanya banyak keberpihakkan dan subjektifitas turut hadir ketika membingkai dan mendefenisikan suatu peristiwa.

Framing merujuk pada bagaimana sebuah hal dibingkai dan direpresentasikan dalam pemberitaan. Konsep framing pada awal-awal kemunculannya dikembangkan oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas (menafsirkan sebuah peristiwa).

Sementara itu, analisis framing secara sederhana digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai dan dimaknai. Terdapat dua esensi utama dari framing, yakni pertama, bagaimana peristiwa di maknai, dan kedua yakni bagaimana fakta ditulis.

Dalam sebuah teks, kehadiran framing berhubungan erat dengan elemen linguistik yakni penggunaan bahasa baik itu melalui pemakaian kata, kalimat atau gambar yang mana dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk mendukung gagasan dalam sebuah teks.

Lebih lanjut, framing adalah metode untuk melihat cara bercerita media atas sebuah peristiwa. Cara bercerita ini tergambarkan melalui cara penulis atau pembingkai melihat realitas yang kemudian dijadikan berita oleh media.

Dalam perspektif komunikasi, kehadiran analisis framing seringkali dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta sehingga tidak heran kemudian subjektifitas hadir didalamnya.

Teks merupakan sesuatu hal yang kompleks. Berbicara soal teks, tidak terlepas dari bagaimana suatu realita dibentuk dan dikonstruk melalui bahasa, dimana seringkali berbagai kondisi diduga hadir dan mewarnai sebuah teks.

Teks dalam hal ini bukan lagi hanya merujuk pada tataran sebuah bahasa dalam bentuk tertulis, namun lebih jauh juga mengacu pada ekspresi bahasa yang memiliki informasi, fungsi dan tujuan tertentu.

Adanya pelabelan, pendefenisian, dan bentuk tindak tutur yang ditemukan dan ditampilkan pada artikel berita dewasa ini mengindikasikan bahwasanya daripada memaknai sebuah peristiwa secara objektif.

Sampai sejauh ini, ada media massa tertentu, yang diduga memaknai sebuah peristiwa melalui ideologi mereka, dimana penyematan ideologi seringkali hadir mewarnai dibelakangnya.

Sebagai contoh hal ini dapat kita lihat lebih lanjut dalam ketidaksesuaian etika jurnalisme yang terdapat pada perilaku jurnalis di media massa BBC yang memunculkan pertanyaan yang terkesan bias saat melakukan wawancara dengan Duta Besar Palestina, terkait pada konflik Israel-Palestina dimana para jurnalis terkesan pro-Israel dan berita yang dikemaspun dibingkai sedemikian rupa untuk memperlihatkan keburukan pihak Hamas dalam satu sisi.

Sebagai sebuah kajian analisis framing cukup menarik dan memiliki banyak model yang dikembangkan oleh para ahli yang mana masing-masing model memiliki skema atau perangkat framing yang berbeda-beda antar satu dan yang lainnya.

Salah satu model analisis framing yang paling populer dalam melihat sebuah pembingkaian berita dikembangkan oleh Pan dan Kosicki (1993).

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved