HUT RI ke 78

Makna Pakaian Adat Koto Gadang yang Dipakai Wapres Ma'ruf Amin dan Istri Saat Upacara HUT RI ke-78

Wakil Presiden (Wapres) Maruf Amin beserta istrinya, Wury Estu Handayani, mengenakan pakaian Koto Gadang saat upacara HUT ke-78 RI di Istana Negara,

Editor: Rahmadi
TRIBUNNEWS.COM/BPMS Setwapres
Mengenal Baju Adat yang Dipakai Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Istr. Simak makna baju adat Koto Gadang. 

TRIBUNPADANG.COM - Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin beserta istrinya, Wury Estu Handayani, mengenakan pakaian Koto Gadang saat upacara HUT ke-78 RI di Istana Negara, Kamis (17/8/2023).

Baju Koto Gadang yang dikenakan oleh Wapres Ma'ruf Amin beserta istrinya merupakan pakaian adat khas Sumtera Barat (Sumbar).

Koto Gadang sendiri adalah sebuah nagari/desa yang berada di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Dilansir dari Tribunnews.com, keduanya tampak serasi dalam balutan baju adat berwarna ungu dengan aksen emas.

Baju yang dikenakan Ma'ruf Amin terdiri dari setelan baju dan celana kain, jas luaran, ikat kepala serta tambahan aksesoris keris yang diselipkan di bagian depan.

Sementara, Wury terlihat mengenakan atasan baju kurung dan bawahan kain songket berwarna emas.

Tak hanya itu, busana yang dikenakan Wury juga dilengkapi Tingkuluak Koto Gadang, yakni penutup kepala dari bahan beludru berwarna ungu tua dengan motif emas.

Baca juga: Momen HUT RI di Bukittinggi, Bank Nagari Serahkan Dividen Senilai Rp7 M hingga Bantuan Pendidikan

Makna Baju Koto Gadang

Dikutip dari Kompas.com, Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Sumatera Barat Zusneli Zubir menuturkan, meskipun berbentuk selendang, tapi tingkuluak talakuang pakaian adat Koto Gadang bukanlah selendang dan keberadaanya tidak dipengaruhi oleh kebudayaan India yang datang ke Sumatera Barat.

Sebagaimana diketahui, penutup kepala wanita di baju adat Koto Gadang tidak seperti baju adat Minangkabau lainnya yang lazim menggunakan suntiang.

"Tinkuluak talakuang adalah asli milik orang Minangkabau dan merupakan pakaian dari wilayah darek atau luhak pada zaman dulunya. Berbeda dengan suntiang yang merupakan pakaian dari wilayah rantau alam Minangkabau. Suntiang ini dipengaruhi oleh kebudayaan Cina," terangnya.

Tinkuluak berarti penutup kepala dan talakuang adalah mukena yang dikenakan untuk shalat.

Menurut Zusneli, penggunaan tinkuluak talakuang sebagai pakaian dalam upacara pernikahan tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat zaman dulu melilitkan mukena di kepala dan membawanya ke mana mereka pergi.

"Dengan demikian, di mana pun mereka berada ketika waktu shalat masuk, mereka tidak susah lagi mencari mukena untuk shalat," ucapnya.

Baca juga: Kunjungan Istri Wapres ke Padang Panjang, Bahas UMKM Kriya & Tantangan Pelaku Usaha

Penggunaan tinkuluak talakuang dalam pakaian pengantin Koto Gadang ini juga syarat dengan makna.

Busana ini mencerminkan falsafah Minangkabau adat basyandi syarak, syarak basandi kitabullah, adat yang diterapkan di masyaratkan tidak terlepas dari prinsip-prinsip agama Islam.

"Tinkuluak talakuang menandakan agama dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Karena itu tinkuluak ini berada di atas kepala," tambah Zusneli.

Ia juga menerangkan, sebelum dimodifikasi seperti saat ini, dahulunya tinkuluak talakuang ini menyerupai mukena yang dikibarkan ketika dipakai.

Pada bagian belakang sebagian dijahit dan sebagian dibiarkan berkibar. Dengan demikian ia akan mengikuti pola wajah dan menutup aurat si pemakai.

Berbeda dengan model sekarang yang hanya berbentuk kain persegi panjang dan menyerupai selendang.

Baca juga: Upacara Kemerdekaan ke-78 di Kota Bukittinggi Berjalan Lancar, Ratusan Warga Padati Lapangan Kantin

Tak hanya model tinkuluak talakuang yang syarat makna, bahan dan hiasan yang melekat pada tinkuluak ini juga memiliki makna.

Penggunaan bahan beludru dan hiasan yang terbuat dari perak dan tembaga menandakan wanita di Minangkabau adalah hiasan Rumah Gadang.

Karena itu, mereka menggunakan bahan terbaik dan hiasan terbaik saat upacara pernikahan.

Begitu juga dengan baju dan songket yang dimiliki juga memiliki makna.

Baju kuruang basiba dipilih karena tidak memperlihatkan lekuk tubuh.

Berbeda dengan baju muslim pada umumnya, baju kuruang basiba memiliki celah yang didesain khusus pada bagian lehernya.

Baca juga: Darak Badarak Ikut Meriahkan Peringatan HUT ke-78 RI di Balai Kota Pariaman

"Bagian yang sedikit terbuka di bagian leher ini akan memudahkan udara masuk sehingga yang memakai tidak kepanasan. Dan ini juga memiliki makna bahwa wanita di Minangkabau bisa menerima masukan dari siapa pun sehingga wanita Minang dituntut untuk bersikap bijaksana," terang Zusneli.

Kemudian untuk motif yang terdapat pada songket juga memiliki makna tergantung pada motif yang digunakan.

"Awalnya orang Minangkabau hanya mengenal dua motif yaitu kaluak paku dan pucuak rabuang. Hal ini dibuktikan dengan temuan menhir di Limapuluh Kota yang sudah menggunakan kedua motif ini," ucap Zusneli.

Kaluak paku bermakna yang tua mengayomi yang muda, pucuak rabuang bermakna setiap insan manusia berguna di muka bumi dan bisa hidup di mana pun dengan beradaptasi pada setiap lingkungan.

"Saat ini sudah terdapat sekitar 100 motif yang digunakan sesuai dengan perkembangan zaman," ucap Zusneli.

Kenapa baju adat Koto Gadang menjadi tren saat ini. Hal ini karena sifatnya yang praktis dan ringan namun menampilkan kesan elegan.

"Dengan memakainya maka akan mencerminkan wajah yang berseri. Seperti orang yang selalu menjaga shalatnya akan terlihat berseri di wajahnya," ucap Zuneli.

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved