Citizen Journalism

Opini: Representasi Adat, dan Etika dalam Tuturan Wanita Minangkabau

WANITA atau Perempuan selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan. Sehingga tak heran bila kemudian sosok wanita hingga saat ini masih menjadi kaji

Editor: Emil Mahmud
TribunPadang.com/Panji Rahmat
Ilustrasi: Satu ikon, yang menonjolkan simbol Minangkabau terdapat di gerbang atau pintu masuk Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Sumbar. 

Oleh : Shilva Lioni, Dosen Program Studi Sastra Inggris FIB, Universitas Andalas

WANITA atau Perempuan selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan. Sehingga tak heran bila kemudian sosok wanita hingga saat ini masih menjadi kajian menarik untuk dibahas.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wanita (perempuan) adalah tiang negara, jika baik para wanitanya maka akan baik pula sebuah negara”. Hal ini senada dengan falsafah masyarakat Minangkabau yang menyebutkan wanita sebagai “limpapeh rumah nan gadang”, yakni simbol dari runtuh bangunnya sebuah kaum.

Dalam masyarakat Minangkabau, wanita memiliki peran sentral dalam kehidupan dimana kehadiran sistem matrilineal memperkukuh posisi dan tempat yang khas bagi wanita di dalam masyarakat.

Dalam keluarga Minangkabau kedudukan wanita dinamakan semarak kerabatnya (sumara’ kampuang) atau hiasan nagari (pamenan nagari) dan persemaian desa yang berpagar (pasamayan nagari nan bapaga).

Sehingga, tak jarang kemudian sangat banyak aturan dan tatakrama menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi wanita Minangkabau demi mempertahankan kemuliaan martabat yang dilimpahkan adat kepadanya.

Wanita Minangkabau dituntut harus menyadari keistimewaan yang diberikan adat kepadanya agar dapat berbuat, bertutur, dan berpikir sesuai dengan kemuliaannya tersebut.

Sebagaimana digambarkan dalam petatah-petitih berikut: “budi baiak baso katuju, muluik manih kucindan murah. Dibagak urang ndak takuik, dikayo urang ndak arok, dicadiak urang ndak ajan, dirancak urang ndak ingin, di budi urang takanai. Sasuai bak bunyi pantun,babelok babilin-bilin, dicapo tumbuahlah padi, dek elok urang tak ingin, dek baso luluahlah hati. Nan kuriak Lundi , nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso”.

Ilustrasi: Sosok perempuan dalam satu perspektif tertentu.
Ilustrasi: Sosok perempuan dalam satu perspektif tertentu. (IST/DESAIN PRIBADI MASAYU SITI RJ)

Bahasa atau yang disebut baso dalam masyarakat Minangkabau menjadi salah satu faktor penting dan tiga indikator utama yang selalu ditekankan dalam adat Minangkabau. Yakni,  kehadiran bahasa yang baik dan indah dapat menggambarkan dan merepresentasikan posisi dan kemuliaan seorang wanita.

Lebih lanjut, dalam tuturan bahasa wanita Minangkabau, secara tidak langsung kita dapat melihat ada hubungan yang erat antara etnisitas, sikap atau etika, dan bahasa.

Hal ini sejalan dengan pendapat Duranti (1997) yang menyatakan bahwa bahasa mengkategorisasi realitas budaya tertentu, dimana nilai budaya yang dimiliki suatu etnis, dapat ditelusuri melalui berbagai bentuk lingualnya (Oktavianus, 2006).

Dalam bahasa wanita Minangkabau, kecenderungan karakteristik pada penggunaan pagar (hedges) yang ditemukan dan ditampilkan dalam tuturan wanita Minangkabau, tidak terlepas dari kontrol etnisitas dibaliknya, yakni nilai-nilai dan falsafah adat Minangkabau itu sendiri.

Minangkabau sendiri merupakan masyarakat metafora atau masyarakat yang cenderung bertutur tidak langsung. Sebagaimana diungkapkan oleh Errington (dalam Oktavianus 2006:74) yang mengatakan bahwa salah satu ciri-ciri orang Minangkabau adalah tidak berterus terang.

Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau cenderung memakai ujaran-ujaran yang mengandung makna implisit, atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan bahasa kias untuk mengungkapkan sesuatu.

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari latar belakang budaya Minangkabau itu sendiri dimana tatanan ideal adat Minangkabau telah mengatur sedemikian rupa cara bertutur bahasa, terlebih bagi wanitanya, yang dalam perspektif adat pada suatu ketika akan menjadi Bundo Kanduang, yakni simbol dari runtuh bangunnya sebuah kaum.

Dalam berbahasa seorang wanita Minangkabau dituntut harus selalu berhati-hati dalam memilih bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan agar tidak dicap sebagai orang yang tidak berbudaya atau tidak beradat.

Oleh karena itu, perilaku berbahasa kaum wanita Minangkabau secara tidak langsung cenderung memakai strategi yang dapat melindungi citra dirinya dan citra diri orang lain dalam berkomunikasi secara verbal.

Salah satu karakteristik yang menjadi ciri khas bahasa wanita Minangkabau adalah penggunaan pagar (hedges). Penggunaan simbol seperti “?”, kata “boleh tidak”, “maaf”, “terimakasih” serta modal verb “bisakah”, “bolehkah”, seringkali dituturkan dan hadir secara berulang-ulang dalam sebuah tuturan, baik itu yang muncul dalam konteks permintaan maupun penolakan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Coates (1996), ketika seseorang menggunakan hedges secara linguistik, penutur bermaksud menghindari mengatakan sesuatu secara pasti dan menjaga pilihan mereka terbuka atau dengan kata lain tidak memaksa.

Fungsi hedges dalam hal ini memberi pilihan kepada lawan tutur sepenuhnya untuk melaksanakan suatu hal atau tidak. Tidak hanya itu, selain dapat menjaga sebuah tuturan agar tetap terbuka atau dengan kata lain tidak memaksa, penggunaan hedges dalam sebuah tuturan juga seringkali digunakan untuk memperhalus sebuah tuturan agar menjadi lebih indah ketika didengar.

Kebudayaan Minangkabau adalah sebuah etnik yang selalu menekankan tentang tata cara hormat-menghormati melalui kehalusan tata bahasa yang dipergunakan.

Hal ini senada dengan petuah adat yang mengatakan “raso dibaok naik, pareso dibaok turun”. Orang minang bukanlah tipikal manusia yang bukak kulit tampak isi dan bukan orang yang bernalar hitam putih.

Mereka cenderung berada pada zona abu-abu terkait sikapnya dalam suatu persoalan. Itulah kenapa, dulunya orang minang dianggap sebagai suatu suku yang sangat bagus ketika berhadapan dengan hal-hal yang berbau diplomasi.

Dalam bertutur, masyarakat Minangkabau sangat memperhatikan dan mempertimbangkan fenomena-fenomena kebahasaan.

Mereka berusaha untuk bersikap bijaksana dalam berbicara supaya mitra tindak tutur tidak tersinggung, misalnya dalam meminta, orang Minang memegang prinsip adat ‘saat meminta gigi harus lunak dari lidah’.

Bahkan masyarakat Minangkabau memiliki Kato Nan Ampek sebagai panduan bagi seseorang ketika hendak bertutur.

Lebih jauh, Minangkabau memberikan gambaran dan penjelasan yang rinci tentang bagaimana bahasa memiliki posisi agung tersendiri dalam falsafah adat karena kekuatan yang dimilikinya.

Sebagaimana falsafah adat berikut, “dek elok urang tak ingin, dek baso luluahlah hati. nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso” yang mana bermakna dengan bahasa, hati sekeras apapun akan dapat luluh, dan mereka yang baik perilakunya yaitu mereka yang indah bahasanya.

Lebih lanjut, bahasa berpagar yang cenderung digunakan oleh wanita Minangkabau sebagai strategi bertutur tidak terlepas dari adanya kontrol etnik Minangkabau itu sendiri.

Yakni, nilai-nilai dan falsafah adat menjadi aturan dasar yang bersifat mengikat, sehingga wanita cenderung menyesuaikan tuturannya agar dapat melindungi citra dirinya dan citra diri orang lain karena dalam pandangan adat Minangkabau, manusia yang beradat adalah orang bijaksana dalam berbicara.

Adat Minangkabau pada khususnya bertujuan membentuk individu menjadi individu yang berbudi luhur yakni manusia yang berbudaya dan beradab.

Sejauh ini sifat-sifat ideal seorang individu dalam falsafah dan nilai Minangkabau itu adalah

(a) Hiduik baraka, baukua jo bajangko, artinya orang yang mempunyai "rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat";

(b) baso-basi malu jo sopan, artinya mengutamakan sopan santun dalam pergaulan;

(c) tenggang raso, artinya, di dalam pergaulan harus menjaga perasaan orang lain, dimana adat mengajarkan masyarakatnya untuk selalu berhati-hati dalam berbicara, bertingkah laku tidak menyinggung perasaan orang lain;

(d) setia, artinya teguh hati, merasa senasib, saling tolong-menolong dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved