Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar: Hak untuk Tidak Disiksa ialah HAM yang Tak Bisa Dikurangi

Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi unjuk rasa di Mapolda Sumbar bertepatan dengan momentum peringatan Hari Anti ...

Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Fuadi Zikri
TribunPadang.com/Wahyu Bahar
Aksi teatrikal oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) pada momentum Hari Anti Penyiksaan Internasional di depan Mapolda Sumbar, Senin (26/6/2023). 

TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi unjuk rasa di Mapolda Sumbar bertepatan dengan momentum peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional, Senin (26/6/2023).

Seorang peserta aksi, Adrizal mengatakan bahwa unjuk rasa yang dilakukan merupakan refleksi perihal hari peringatan anti penyiksaan internasional yang jatuh setiap tanggal 26 Juni.

Selain itu, sebelumnya, koalisi masyarakat sipil Sumbar juga menggelar diskusi publik pada Sabtu (24/6/2023).

"Kita sepakat bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun, tapi nyatanya pada 2021-2022 terjadi kasus penyiksaan di Sumbar yang sangat sulit didapatkan keadilan dan kepastian hukum," ujar Adrizal kepada TribunPadang.com.

Ia membeberkan, sejumlah kasus penyiksaan yang terjadi di Sumbar, pernah terjadi di Agam dan Tanah Datar.

Baca juga: Hari Anti Penyiksaan Internasional: Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar Gelar Aksi Teatrikal di Mapolda

Di dua daerah itu, kasus penyiksaan diduga oleh oknum aparat penegak hukum. Kasus itu, kata dia, sudah dilaporkan ke kepolisian, tapi hingga kini belum ditemukan kepastian hukum dan keadilan.

Sehingga, ujarnya, dalam kasus-kasus penyiksaan penegakan hukum sangat mahal dirasakan oleh korban.

Terangnya, di Agam terjadi dua kasus dugaan penyiksaan pada 2022. Pertama, kasus GA yang ditangkap saat bekerja di ladang, dan pada malam harinya dikembalikan ke orang tuanya dalam keadaan meninggal.

Sejumlah massa dari Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Polda Sumbar pada Senin (26/6/2023). Peserta aksi melakukan unjuk rasa bertepatan dengan peringatan 'Hari Anti Penyiksaan Internasional ' yang diperingati setiap 26 Juni.
Sejumlah massa dari Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Polda Sumbar pada Senin (26/6/2023). Peserta aksi melakukan unjuk rasa bertepatan dengan peringatan 'Hari Anti Penyiksaan Internasional ' yang diperingati setiap 26 Juni. (TribunPadang.com/Wahyu Bahar)

Kedua, kasus meninggalnya warga binaan yang sempat kabur dari Lapas Agam yang kemudian disebut bunuh diri, sedangkan banyak keganjilan tentang hal itu.

Di Tanah Datar, pada 2021 lalu seorang terduga pelaku diduga pencurian mengalami penyiksaan saat ditangkap.

"Di Tanah Datar kita gambarkan kronologinya lebih kurang seperti itu. Ada disulutkan rokok, ditendang, dipukul, hanya untuk mendapatkan informasi atau penegakan hukum soal betul atau tidaknya suatu tindak pidana, sedangkan asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum, nyatanya mereka tak menggunakannya, sehingga untuk memintai keterangan dilakukan proses-proses penegakan hukum," ujar Adrizal.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar Gelar Unjuk Rasa, Bentangkan Spanduk Stop Segala Bentuk Penyiksaan

Diketahui sebelumnya, peserta aksi melakukan unjuk rasa peringatan 'Hari Anti Penyiksaan Internasional' ke Mapolda Sumbar.

Puluhan massa aksi tiba di depan Mapolda Sumbar sekira pukul 14.30 WIB. Di antara massa aksi lalu memasang berbagai spanduk di pagar Mapolda Sumbar.

Spanduk-spanduk tersebut bertuliskan 'Stop segala bentuk penyiksaan', 'Kita berhak untuk tidak disiksa, serta 'Aku kira polisi, ternyata tukang siksa #cuaks'.

Lalu, juga ada spanduk bertuliskan 'penyiksaan yang dilakukan penegak hukum merupakan kultur yang tidak manusiawi', dan 'mahalnya keadilan bagi korban penyiksaan'.

Usai membentangkan spanduk, orator secara bergantian meluapkan aspirasinya terkait tindakan penyiksaan oleh oknum aparat.

Baca juga: PBHI Sumbar ke Komnas HAM: Ungkap Kasus Dugaan Penyiksaan oleh Aparat

Massa aksi juga tampak melakukan aksi teatrikal yang mengilustrasikan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Seorang orator Muhammad Jalali mengatakan, warga sipil mengutuk keras perihal masih adanya kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian di Sumbar dalam penegakan hukum.

"Ketika masyarakat sipil berurusan dengan hukum kita selalu dipertontonkan ada 'salam tempel' bagi korban, apakah seperti itu dibenarkan?," kata Jalali.

Ia menilai bahwa di Indonesia masih ada aparat penegak hukum yang mengedepankan arogansi ketimbang profesionalisme dan humanisme dalam menjalankan tugas, utamanya dalam memintai keterangan seorang tersangka.

"Misalnya, penangkapan tersangka suatu kasus, ada penembakan di lokasi penangkapan, sedangkan di sana ada anak kecil. Itu adalah penyiksaan psikologis terhadap anak tersebut," ujarnya.

Orator itu bilang, apa yang ia sampaikan ialah realita yang terjadi di Sumbar, bukan informasi hoaks.

Pantauan TribunPadang.com di lokasi, personel kepolisian tampak berjaga di sekitar Polda Sumbar.

PBHI Sumbar ke Komnas HAM, Ungkap Dugaan Penyiksaan oleh Aparat Penegak Hukum

Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumatera Barat (Sumbar) menyambangi Komnas HAM wilayah Sumbar bertepatan dengan momen Hari Anti Penyiksaan Internasional pada Senin (26/6/2023).

Kunjungan PBHI itu untuk beraudiensi terkait dugaan penyiksaan yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir, termasuk yang dialami terduga pelaku pembunuhan DS saat proses penyidikan oleh Kepolisian Sektor Koto Tangah.

Ketua Badan Pengurus Wilayah PBHI Sumbar Ihsan Riswandi mengatakan, temuan itu diketahui dari penyuluhan dan konsultasi hukum yang dilakukan PBHI Sumbar di Rutan Anak Aia Padang selama beberapa tahun terakhir.

Khusus pada enam bulan terakhir, kata dia, PBHI Sumbar mencatat 10 orang diduga menjadi korban penyiksaan dalam proses penyidikan di Kepolisian, termasuk salah satunya yang dialami oleh DS.

Akibat dari dugaan penyiksaan, lanjut Ihsan, DS sempat dirawat di RS Bhayangkara. DS lalu menjalani perawatan di RS Bhayangkara, namun keluarga dari pihak korban disebut tak dapat izin untuk membesuk.

"DS ditangkap pada tanggal 14 April 2023. Pihak keluarga baru bisa bertemu dengan DS pada tanggal 4 Mei 2023 di RS Bhayangkara, dalam kondisi sangat memprihatinkan," kata Ihsan kepada TribunPadang.com, Senin (26/6/2023) siang.

"Kondisi ini tentu menyedihkan, dimana penegakan hukum pidana yang semestinya bernafaskan semangat keadilan dan kepatuhan hukum, justru dilakukan dengan melanggar hukum, dan berdampak luka fisik maupun psikis akibat penyiksaan," tambahnya.

Ihsan menjelaskan, pada proses hukum tingkat kepolisian, praktik penyiksaan yang mengatasnamakan penegakan hukum dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 11 peraturan Kapolri itu berbunyi “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan, pelecehan, penghukuman yang tidak manusiawi, melakukan kekerasan dan/ senjata api”.

Ihsan melanjutkan, sepanjang 2020 hingga 2023 (PBHI) Sumbar intens melakukan penyuluhan dan konsultasi hukum di Rutan Anak Aia Padang.

Di samping itu, Ihsan juga menyinggung dugaan pelanggaran HAM yakni pembiaran atau pengabaian (by omission) terjadinya dugaan tindak kekerasan oleh aparatur negara sebagaimana yang terjadi dalam kasus kematian S di Lapas Lubuk Basung.

Kasus ini, katanya, telah dilaporkan keluarga melalui surat tanggal 15 Januari 2022 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan dan pemeriksaan saksi tanggal 22 Februari 2022.

"Pada pertemuan dengan Kasat Reskrim Polres Lubuk Basuang, beserta jajarannya disepakati bahwa untuk pembuktian akan dilakukan otopsi dan pemeriksaan CCTV, namun sampai saat ini, para pelapor belum mendapatkan penjelasan mengenai perkembangan kasus tersebut," kata Ihsan dalam keterangan tertulisnya.

Kedua kasus penyiksaan di atas, ujar Ihsan adalah gambaran masih lemah bahkan tidak efektifnya mekanisme pengawasan dan tindakan internal institusi penegak hukum.

Meskipun institusi penegak hukum memiliki sejumlah aturan dan standar penanganan kasus, namun mekanisme pengawasan internal untuk mencegah dan menindak praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum dianggap masih sangat lemah.

"Akibatnya, pemberian sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku penyiksaan sangatlah langka," imbuhnya.

Berdasarkan catatan-catatan yang disebutkan itu, PBHI Sumbar mendesak agar:

1. Negara Republik Indonesia cq Pemerintah untuk berkomitmen dengan sungguh-sungguh memperbaiki sistem penegakan hukum (pidana) mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian hingga proses persidangan agar tidak lagi terbuka ruang-ruang bagi penegak hukum melakukan pembenaran metode penyiksaan dalam mengejar keterangan dan pengakuan tersangka.

Hal tersebut dapat terlaksana jika Negara sesegera mungkin meratifikasi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan (Optional Protocol Convention Again Torture) demi menakar dan membangun standar kebijakan pencegahan praktik penyiksaan secara serius yang kerap terjadi ditempat-tempat penahanan.

2. Negara Republik Indonesia Cq Pemerintah kemudian dengan bersungguh-sungguh menerbitkan regulasi yang efektif untuk pemulihan hak-hak korban penyiksaan, karena regulasi yang ada saat ini belum mampu menjamin, melindungi serta memenuhi hak-ha korban penyiksaan.

3. Negara Republik Indonesia cq Pemerintah segera membentuk instrumen hukum yang mengatur secara khusus mengenai delik penyiksaan, karena pada penerapannya laporan dari korban penyiksaan selalu dilekatkan kepada pasal penganiayaan dalam KUHP, sementara penyiksaan tidaklah sama dengan penganiayaan.

4. Komnas HAM melakukan penyelidikan khusus terhadap berbagai kasus penyiksaan yang telah melembaga dan terus terjadi dalam proses peradilan pidana khususnya di tubuh kepolisian maupun di institusi penegak hukum lainnya.

5. Pemerintah harus mengambil langkah serius dan terukur melalui kebijakan holistik dan komprehensif, yang bisa menyasar di level nasional hingga daerah, untuk menjawab masalah di atas. Komnas HAM dan KuPP (Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, harus bekerja cepat dan cermat, serta mengukur target capaian yang progresif ke depannya.

6. Merangkul dan mengajak publik untuk terus aktif menyuarakan penentangan terhadap praktik penyiksaan serta berani menempuh upaya hukum untuk mencegah dan menindak pelaku praktik penyiksaan.

Sementara itu, Sub Korbid Pelayanan dan Pengaduan Komnas HAM wilayah Sumbar Firdaus mengatakan, terhadap dua kasus yang disampaikan PBHI Sumbar pihaknya telah meminta agar informasi yang disampaikan lebih lengkap agar pihaknya bisa menindaklanjutinya.

"Untuk kasus DS kita kan belum tahu identitasnya, kronologi kejadian, dan kondisinya sekarang seperti apa, kita kan belum tahu," kata Firdaus.

"Dalam proses penegakan hukum terhadap dugaan pembunuhan (yang dilakukan DS), terjadi dugaan penyiksaan terhadap terduga pelaku pembunuhan (DS), ini yang akan kita tindaklanjuti sebenarnya, benarkah itu terjadi atau tidak? Kalau iya, langkah seperti apa yang akan dilakukan pihak kepolisian untuk mengatasi hal-hal seperti ini," tambah dia.

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved