Gempa Sumbar 2009
Mengenang Gempa 2009: Kisah Heroik Perawat Selamatkan, Pasien Polio di Kampung Dobi Kota Padang
Tepat pada Jumat (30/9/2022) hari ini atau 13 tahun silam, terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) mengguncang Sumatera Barat atau S
Penulis: Nandito Putra | Editor: Emil Mahmud
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Tepat pada Jumat (30/9/2022) hari ini atau 13 tahun silam, terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) mengguncang Sumatera Barat atau Sumbar.
Seperti diketahui, BNPB mencatat 1.117 korban meninggal, yang tersebar di tiga kabupaten dan empat kota. 1.214 orang, serta juga dilaporkan luka berat dan 1.688 luka ringan.
Selanjutnya, wartawan TribunPadang.com mewawancarai seorang penyintas gempa 2009 bernama Emy (58), yang mana ketika itu dirinya berusia 45 tahun.
Emy bekerja sebagai perawat pribadi keluarga di sana. Pasiennya, kala itu adalah penderita polio. Saban sore, Emy harus ke Kampung Dobi Kota Padang untuk memandikan si pasien.
Ketika hendak bergegas pergi, anak sulungnya, Nova, terjaga dari tidur siang. "Ma, aku mimpi, ada banyak pesta besar-besaran," kata Emy, menirukan anaknya.
Di kolong langit ini, manusia dengan segala kompleksitasnya mesti menyadari bahwa di bawah tanah yang kita pijak, ancaman gempa yang sama selalu mengintai.
"Ada Pesta dan Orang-orang Pakai Baju Putih"
Sore itu, Rabu 30 September 2009, sekira pukul 16.00 WIB, awan kelabu menggelayut di langit kota Padang, tanda-tanda hujan akan turun.

Emy akan berangkat menuju tempat kerjanya di Kampung Dobi, Kecamatan Padang Selatan
"Pesta bagaimana," kata Emy.
"Aku lihat banyak pesta dan semua orang pakai baju putih"
Ketika itu Emy hanya berdua dengan Nova di rumah. Saat Emy mendengar cerita anaknya, perasaannya mulai gusar.
Nova tiba-tiba ingin ikut sebab perasaannya juga tidak enak.
"Ma, aku ikut saja ke Kampung Dobi sama mama," cerita Emy.
Menyelamatkan Nyawa Pasien Polio
Rumah Emy berada di kelurahan Alang Laweh, tepatnya apabila kini di belakang Hotel Grand Zurich.
Pada 30 September 2009 itu, hanya berdua dengan sang anak, lalu Emy berjalan kaki ke tempatnya bekerja. Jarak dari rumah ke Kampung Dobi lebih kurang satu kilometer/ 1 KM.
Seingat Emi, mereka tiba di rumah pasien yang akan dimandikan sekira pukul 16.30 WIB. Di sepanjang jalan, kendaraan lalu-lalang. Itu adalah jam-jam sibuk di pusat pertokoan di kawasan tersebut.
Sesampai di tujuan, Emy langsung bergegas melaksanakan pekerjaannya. Di tengah memandikan pasien itulah, Emy merasakan lantai bergetar dan diikuti suara gemuruh.
Di kamar mandi, Emy dibantu oleh anaknya, membopong pasien ke luar. Emy sempat terkurung dan menyaksikan dinding dapur terkuak ke arah luar bangunan utama.
Sepenuh tenaga, ibu dan anak itu berusaha keluar, sambil membopong pasien, tanpa benang sehelaipun.
Mereka bertiga selamat dan merebahkan pasien di jalan di depan rumah. Tak berselang lama, getaran yang mulai melambat, tiba-tiba bertambah kuat, merubuhkan banyak bangunan di sekeliling tempat Emy berdiri.
Emy mengingat, suasana ketika itu begitu mencekam. Suara anak-anak menjerit ketakutan merebak di mana-mana.
Gempa telah mengubah kota menjadi landasan puing. Debu reruntuhan bangunan mengepul di setiap sudut kota.
Ketika terduduk di pinggir jalan, Emy nyaris terlindas mobil yang tiba-tiba bergerak ke arahnya.
"Ma, itu ada mobil bergerak ke sini," teriak Nova kepada ibunya.
Seketika ia menghindar dan mobil tersebut menghantam reruntuhan beton di depannya.
Gempa dan Ikatan Persaudaraan
Ibu dan anak tersebut selamat. Namun, di perjalanan menuju rumah, Emi menyaksikan pemandangan yang menakutkan.
Dari Kampung Dobi menuju rumah, Emy melihat wajah pucat pasi. Suara tangis di mana-mana.
Emy juga mendengar suara jeritan minta tolong dari gedung bioskop di sekitarnya saat itu, yang terbakar.
Hari-hari setelah Rabu kelabu 30 September itu, berjalan begitu lambat.
Kenangan itu tersimpan rapi di ingatan perempuan yang kini berusia 58 tahun itu. Novi, seperti Emy, kini bekerja sebagai tenaga kesehatan.
13 tahun pasca gempa, Emy selalu bersyukur sebab seluruh anggota keluarganya selamat.
Kini, bersama sang suami, Emy aktif di Kelompok Siaga Bencana (KSB) Kecamatan Padang Selatan.
Emy selalu mengingat, bagaimana ketika itu manusia saling mengasihi, tanpa sekat sedikitpun.
Setelah gempa benar-benar usai, rumah Emy dijadikan posko. Dengan segenap bantuan yang datang dari berbagai pihak, Emy bersama sejumlah warga mendirikan dapur umum.
Hari-hari setelahnya berjalan membaik. Wajah kota yang hancur berantakan mulai dibangun. Sebuah monumen peringatan didirikan. Mencatat ratusan nama-nama korban yang tewas.
Setiap 30 September, doa-doa yang dipanjatkan warga saat hadir di tugu peringatan gempa, yakni memohon kepadaNya, agar tragedi serupa takkan terulang hingga mengulang kesedihan.(TribunPadang.com/Nandito Putra)